Saat Muktamar Indonesian Muslim Society in America (IMSA 2019), Desember lalu, diadakan sesi khusus pertemuan para muda-mudi yang masih yang masih single. Sesi terebut diprakarsai oleh matrimonial service (layanan pernikahan) IMSA. Layaknya biro jodoh, acara perkenalan itu mendorong kaum muda Muslim Indonesia agar saling mengenal dan mulai berpikir untuk menikah. Terdengar seperti kencan kilat (speed dating)?
Pengurus matrimonial service IMSA Wiwied Irfianti menolak penyebutan speed dating. "Pada prinsipnya itu adalah (proses) mengenal. Kita berusaha untuk menghilangkan kata-kata dating itu karena ingin se-Islami mungkin. Jadi, sebenarnya bukan speed dating. Yang kita tekankan, kalau sudah cocok, cepat saja menikah. Itu sih konsep sebenarnya," katanya seperti dikutip dari VOA, Rabu (12/2/2020).
Sebagai minoritas di Amerika, kebutuhan untuk mencari pasangan sangat sulit serta tak dibarengi dengan momen ngumpul antara warga Muslim Indonesia yang terpencar di berbagai negara bagian di Amerika.
"Dan memang ini sekarang, kalau saya lihat, ya sudah menjadi kebutuhan. Orangtua juga mempunyai high expectation. Ya kita ikhtiar saja semampu kita. Kalau urusan jodoh itu kan bukan matematika manusia tetapi matematika Allah. Biasanya orangtua, walaupun sudah berusaha untuk open mind, dari hati yang paling dalam masih ingin, kalau bisa sama-sama Muslim. Dan salah satu cara ya lewat Muktamar ini. Muktamar ini kan satu-satunya pertemuan Indonesia Muslim terbesar di Amerika di mana kesempatan bertemu Muslim banyak itu kan di sini, jadi ya inilah kesempatan untuk mencari jodoh dalam tanda kutip ya," ujar Wiwied.
Salah satu pasangan hasil perjodohan itu adalah Rocky Tantu dan Nadya. Rocky mengatakan, ia tidak berniat mencari jodoh. Malam itu ia hanya ikut teman datang ke acara matrimonial service dalam acara Muktamar IMSA 2018 untuk berkenalan dengan sesama anak muda Indonesia dari negara bagian lain. Ia bertemu Nadya, yang mengaku juga enggan hadir ke acara tersebut. Pertemuan mereka berlanjut dan beberapa bulan setelah pertemuan pertama itu, mereka menikah.
Rocky Tantu dan Nadya (VOA)
Pengurus lain matrimonial, Feraliza Gitosaputro juga menolak istilah speed dating. Yang dilakukan, menurutnya, membuat acara santai untuk dihadiri para pemuda pemudi supaya mereka bisa saling mengenal. Feraliza menjelaskan, mereka yang hadir diberi formulir untuk diisi, dan menyebutkan siapa yang hendak dikenal lebih lanjut setelah pertemuan tersebut.
"Speed datingnya itu belakangan, kalau memang mereka tertarik. Dikasih form. Siapa yang hendak dikenal lebih lanjut untuk ngobrol. Keduanya dipertemukan. Mereka diberi kesempatan untuk ngobrol. Kita dampingi dulu, bicara sebentar, kemudian kita tinggal, keluar ruangan, supaya mereka saling ngobrol, kita kasih waktu sekitar 15 menit. Itu caranya,” jelas Feraliza.
Dari pertemuan itu, mereka diberi lebih dari satu pilihan supaya bisa mengenal lebih banyak. Pilihan akan mengerucut pada satu orang dan setelah saling bertemu, mereka akan ditanya apakah mau bertemu lagi? Mereka yang mau bertemu lagi, akan diproses lebih lanjut.
Sejauh ini, sudah empat pasang yang bertemu jodoh melalui matrimonial service tersebut. Untuk masuk data base layanan perjodohan ini, tidak ada batasan umur. Saat ini lebih banyak terdaftar adalah usia 20-an dan 30-an. "Mereka umumnya anak-anak dari anggota IMSA sendiri. Sebagian kecil ada orang luar yang mendaftar ke data base itu, dengan usia di atas 30 bahkan di atas 40 tahun. Dari jumlah itu, laki-laki dan perempuan yang membutuhkan bantuan layanan tersebut, hampir sama jumlahnya," kata Feraliza.