Pertanyaannya, apakah virus itu beterbangan? Kepala Divisi Mikrobiologi Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Universitas Padjadjaran (Unpad), dr Imam Megantara M.Kes., THT-KL, membantah hal tersebut.
Katanya, itu disebut aerosol yakni partikel lebih kecil dari droplet atau percikan yang keluar lewat batuk atau bersin orang yang terinfeksi.
Ia bilang, yang dimaksud penyebaran melalui udara untuk kasus COVID-19 bukan berarti berterbangannya virus di udara.
“Aerosol itu droplet juga, cuma secara ukuran lebih kecil,” terang Imam, saat dihubungi era.id, belum lama ini.
Droplet dihasilkan dari batuk atau bersin. Ukuran droplet biasanya sekitar 5 mikron. Sedangkan aerosol adalah droplet yang berukuran lebih kecil lagi yakni di bawah 5 mikron.
Menurut penelitian, kata Imam, aerosol bisa bertahan antara 4 sampai 16 jam di dalam ruangan berventilasi buruk. Dan tidak mungkin aerosol bertahan seharian di udara.
Aerosol juga tidak berterbangan di udara secara umum, misalnya di ruangan terbuka atau di ruang yang memiliki ventilasi baik.
“Sekali lagi yang dimaksud dengan udara itu aerosol, percikan dengan ukuran sangat kecil, jadi mikro droplet. Jadi bukan berterbangan. Dia bisa dipercikkan, ada di udara beberapa jam, tapi dalam ventilasi buruk. Jadi aerosol berada di ruangan itu, bisa lebih lama karena ventilasinya jelek,” terangnya.
WHO sendiri merilis kemungkinan aerosol ini setelah didesak sejumlah ilmuwan yang punya bukti-bukti, bahwa virus ini berpotensi menular melalui aerosol di udara.
Hanya saja WHO meberi catatan, bahwa penularan virus korona melalui udara ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan bukti yang definitif.
Meski tanpa bukti definitif, kata Imam, WHO memutuskan tidak mengesampikan kemungkinan tersebut. “Tapi ini (aerosol) tidak bisa diabaikan, sehingga masuk dalam rilis WHO,” katanya.
Sebelumnya, disebutkan bahwa aerosol tidak diproduksi lewat bersin dan batuk. Persebaran virus lewat aerosol hanya terjadi lewat suatu prosedur rumah sakit di sebuah ruangan dengan ventilasi tertutup, misalnya di ruang inkubasi laboratorium.
Namun dengan adanya sejumlah temuan para ilmuwan, aerosol terindikasi bisa terjadi lewat batuk atau bersin di ruangan-ruangan yang berventilasi buruk.
“Hasil penelitian, ternyata droplet yang kurang dari 5 mikron itu ternyata bisa dihasilkan dari bersin dan batuk. Pada beberapa kondisi itu bisa saja batuk bersin memang bisa hasilkan aerosol yang kurang dari 5 mikron,” katanya.
Meski demikian, penularan COVID-19 lebih sering terjadi lewat droplet daripada aerosol. Namun hal ini tidak berarti melonggarkan kewaspadaan pada aerosol.
“Kesimpulannya kita tetap harus waspada dengan rilis resmi WHO walau secara definisi masih perlu pengujian lebih banyak lagi. Artinya protokol penggunaan masker itu memang harus lebih perketat saja,” katanya.
Selain itu, penerapan protokol kesehatan harus lebih ketat di ruang-ruang tertutup yang dihadiri banyak orang. Begitu juga aturan jaga jarak, perlu lebih ketat lagi dengan memperhitungkan adanya aerosol tadi.
Masker yang bisa digunakan untuk mengantisipasi aerosol idealnya masker N95 yang mampu menyaring paartikel sampai ukuran 3 mikron. Tetapi penggunaan masker N95 dalam waktu lama akan terasa tidak nyaman. Sehingga Imam merekomendasikan memakai masker kain tiga lapis.
“Jadi menggunakan masker standar yang sudah dilapisi 3 lapis saya kira rekomended. Paling tidak dia betul-betul mereduksi kemungkinan penyebaran aerosol dari batuk, itu sangat efektif kalau menurut hasil penelitian,” katanya.
Ia juga menegaskan, jarang sekali penyakit yang menyebar melalui udara murni. Setiap virus memerlukan media untuk ‘terbang’. Percikan yang keluar dari orang terinfeksi inilah yang menjadi media virus berpindah tempat.
Virus korona sendiri merupakan virus RNA yang ukurannya terbilang besar, yakni nol koma sekian mikron. Ukuran virus ini lebih kecil dari droplet atau aerosol.
“Medianya tetap harus ada percikan. Sebetulnya sangat sedikit penyakit yang bisa ditularkan lewat udara. Influenza lewat droplet juga. Kecuali TBC itu bisa lewat udara,” terangnya.