ERA.id - Pria asal Desa Bale Asri, Malang, Jawa Timur, bernama Sam Ferry yang dikenal sebagai pemilik usaha Bakso Gunung di Kota Batam, Kepulauan Riau, viral lantaran membeton jalanan di kampung halamannya.
Jalan sepanjang 1,5 km dan lebar enam meter yang dibangun secara bergotong-royong bergiliran oleh warga Dusun Segelan sejak 2017 itu didanai dari uang pribadi Sam Ferry. Setiap tahun pembangunan digesa, jalanan pun mulus seperti jalan tol sesuai harapan warga.
Tanpa mau menyebutkan nominal yang telah digelontorkannya untuk membiayai pembangunan jalan itu, Suwadi (52) nama lahirnya, masih akan melanjutkan pembangunan jalan di kampung halamannya hingga mencapai 5,5 km.
Sejak 2016 jalan itu rusak, belum beraspal apalagi berbeton. Warga pun kesulitan melintasi jalan tersebut. Berangkat dari keprihatinan itulah yang membuat Sam Ferry terpanggil untuk memajukan kampung halaman yang sudah ditinggalkannya merantau sejak usai 16 tahun.
Sebenarnya, bukan hanya membangun jalan saja yang jadi sumbangsihnya. Bersama sang istri Sri Asmani (57), Suwadi atau Sam Ferry telah membangun masjid, lapangan sepak bola, dan fasilitas umum lainnya untuk kenyamanan desanya.
Karena kontribusinya terhadap pembangunan di desa, banyak warga di kampung menyarankannya mencalonkan diri sebagai bupati. Namun bukan itu yang jadi motivasi ayah tiga anak itu membangun fasilitas umum di tanah kelahirannya.
“Niatnya ibadah, lillahi ta’ala. Karena awalnya (niat) kemana saya menyalurkan sedekah saya,” kata Ferry saat ditemui di rumahnya di Batam, awal 2025.
Pekerja keras
Di mata Sri Asmani, perempuan asal Malang yang dinikahinya 30 tahun silam, sosok Ferry adalah laki-laki pekerja keras, fokus pada tujuan hidup dan berorientasi untuk terus mengembangkan usaha rintisannya dengan harapan anak-anaknya kelak dapat hidup lebih baik darinya.
Pencapaian Ferry saat ini diraih dengan kerja keras, cermat melihat peluang serta gigih menyisihkan penghasilan untuk ditabung dan dinvestasikan.
Total sudah delapan cabang Bakso Gunung didirikannya di Batam, tujuh ruko punya sendiri dan satu ruko sewa. Rencananya tahun ini akan buka lagi cabang ke sembilan di Sekupang dengan membeli ruko tanpa utang.
Ferry membangun usaha secara otodidak dengan bekal pendidikan formal lulus sekolah menengah pertama (SMP).
Usaha bakso dipilih karena kegemaran, dan kebetulan kampung halamannya terkenal dengan kuliner Bakso Malang.
Sejak usia 16 tahun memilih bekerja menafkahi diri, Ferry tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, lantaran tak punya biaya. Hidup sebagai anak petani miskin, tumbuh bersama enam saudara lainnya yang juga tak tamat SMA.
Karena tidak memiliki keterampilan, Ferry bekerja sebagai buruh cangkul di kampung halaman dengan upah Rp700 per hari. Pekerjaan itu dilakoninya selama beberapa bulan.
Ketika ada teman yang mengajaknya bekerja jualan bakso di Kuningan, Jawa Barat, Ferry hijrah dan memulai pekerjaan menjadi penjual bakso pikul. Ketika itu, dia sehari berjalan kaki keliling dari perumahan ke perumahan lain.
Pekerjaan menjual bakso pikul keliling kampung disukainya, karena sehari bisa menghasilkan Rp3.000 dari upah bagi hasil jualan.
Pendapatan ini empat kali lipat dari penghasilan sebelumnya sebagai buruh cangkul. Dia pun bertahan sampai enam bulan.
Hingga menjelang usia 20 tahun, Ferry mencoba kesempatan baru, yakni jualan bakso gerobak di Bali. Tepatnya di Jimbaran, selama dua tahun dia mendorong gerobak sejauh 4 km Jimbaran-Nusa Dua Bali, menjajakan bakso di komplek-komplek perumahan.
Sesuai prediksinya, pendapatan di Bali jauh lebih besar dibanding di Kuningan, Jawa Barat, sehari ia mampu mengumpulkan uang yang cukup hingga bisa menabung buat modal usaha.
“Di Bali kan banyak perantau juga, orang-orang Jawa juga banyak. Apalagi penjual bakso tak banyak di sana.” katanya antusias.
Merintis usaha
Selama berjualan, Ferry memperluas jaringan dan informasinya, yang terpikir adalah bagaimana membangun usaha bakso miliknya.
Dari pergaulan sesama perantau Jawa, Ferry muda mendengar informasi tentang Batam, kota industri yang memiliki kemitraan Sijori (Singapura, Johor dan Riau) tempat perdagangan bebas.
Kala itu ada yang bertanya padanya, apakah dia punya keterampilan, kalau ada lebih baik bekerja di Batam dengan penghasilan lumayan sebagai buruh pabrikan. Ferry sadar tak punya keterampilan, keahliannya cuma jualan bakso.
Informasi tentang Batam membuatnya tertarik untuk mencoba peruntungan memulai usaha bakso miliknya sendiri. Sembari mendengarkan berita dari radio tentang Sijori (Singapura-Johor dan Riau), Ferry yakin bisa membangun mimpi.
Tahun 1992 berangkatlah ia ke Batam, menggunakan jalur darat, dari Bali ke Merak-Bakauheni, hingga sampai Pekanbaru, lalu naik bus lagi ke Dumai.
Di Pekanbaru dia sempat ditawarkan bekerja, namun Ferry kukuh tetap ke Batam, untuk memulai usaha jualan bakso miliknya sendiri, tak lagi jadi pekerja dengan orang lain.
Dia pun berangkat berdua bersama rekannya, keduanya pun merintis usaha bersama menjadi penjual bakso keliling menggunakan gerobak. Bermodal Rp900 ribu yang ditabung hasil kerja dua tahun jualan bakso di Bali.
Ferry membeli gerobak, peralatan dapur untuk memasak bakso, dan bahan baku, serta biaya sewa rumah liar, yang di Batam dikenal sebagai rumah ruli, di kawasan Jodoh, Kota Batam.
Lagi-lagi perhitunganya tepat, minim pesaing, jualan baksonya berkembang pesat, sehari dia bisa mendapatkan uang Rp50 ribu. Uang tersebut terus ditabung hingga memperluas usahanya menambah jumlah gerobak.
“Dari dua gerobak, jadi empat gerobak. Saya ajak abang saya dan temannya dari kampung gabung dengan saya,” katanya.
Sejak saat itu usaha bakso rintisan berkembang, Ferry pun jadi pemilik usaha bakso keliling dengan empat gerobak. Modal kembali, untung pun di dapat, setiap untung yang diperoleh diputar kembali untuk mengembangkan usahanya.
Ferry tak lagi turun jualan, ia bertugas di bagian dapur, sementara abang dan kedua temannya yang turun jualan. Sejak tak lagi berjualan, ia mengisi waktu dengan jadi tukang ojek untuk tambahan modal.
Syukur dan ikhlas
Hingga menikah di tahun 1995, Ferry masih merintis jualan bakso gerobak. Sedikit demi sedikit uang ditabung untuk modal membangun usaha bakso rumahan tak lagi keliling di jalan.
Dibantu istri, Ferry mengembangkan usaha bakso rumahan yang diberi nama Bakso Gunung, berinovasi dengan model bakso yang tidak pada umumnya.
Bakso Gunung yang didirikan Ferry dikenal dengan bakso urat dengan bentuk menyerupai gunung (segitiga) dan bakso gunung merapi (berisi telur). Ide itu muncul begitu saja, karena teringat dengan Gunung Kawi tempat tinggalnya.
Tidak hanya dari bentuk, rasa juga dia pertahankan, banyak masyarakat Batam mengenal Bakso Gunung dengan rasanya yang khas, gurih, dan enak, selain itu porsinya yang mengenyangkan.
Saat ini gerai Bakso Gunung tidak hanya menjual bakso saja, tapi juga ada mie ayam, aneka minuman seperti es teler, es alpukat, dan ada juga menu ayam penyet, resep masakan istrinya.
Kunci kesuksesannya membangun bisnis, selain jeli melihat peluang, mempertahankan rasa, Ferry juga tidak mengambil untung besar. Seperti di toko lain menjual teh obeng Rp6.000, dia masih mempertahankan harga Rp5.000.
Semua usahanya dibangun dari nol bermodalkan uang tabungan yang diputar dan diinvestasikan. Ferry dan istri juga punya kebiasaan bersedekah, seperti caranya membangun masjid, lapangan sepakbola dan jalan adalah sebagian dari harta yang disedekahkannya.
Usahanya kini berkembang menjadi delapan cabang dan mempekerjakan 80 orang karyawan baik dari Batam, ada juga yang datang dari kampung halamannya.
Ferry dan istri mengatakan kunci sukses yang telah membawanya pada pencapaian saat ini adalah rasa syukur dalam setiap keadaan serta keikhlasan.
Hidup yang mereka lalui selama 30 tahun tak selamanya mulus, juga ada pasang surut. Tapi karena syukur dan ikhlas tadi, mereka pun tidak pernah merasakan kesulitan.
“Ya keinginan sekarang ini ya bisa hidup sehat itu yang terpenting,” kata Ferry santai saat ditanya apa lagi yang jadi keinginannya setelah sukses membangun usaha dan memajukan kampung halaman.