Dirut PLN Fahmi Mochtar hingga Adik Eks Wapres Jusuf Kalla Jadi Tersangka Korupsi PLTU Kalbar

| 06 Oct 2025 16:20
Dirut PLN Fahmi Mochtar hingga Adik Eks Wapres Jusuf Kalla Jadi Tersangka Korupsi PLTU Kalbar
Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Irjen Cahyono Wibowo (Era.id/Sachril)

ERA.id - Direktur PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar, hingga Presiden Direktur PT BRN Halim Kalla yang juga adik dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka terlibat kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.

Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri (Kortas Tipikor) menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) di kawasan Kabupaten Mempawah, Kalbar pada 2008-2018. Keempat tersangka itu adalah Dirut PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar (FM); Presiden Direktur PT BRN, Halim Kalla (HK); Dirut PT BRN, RR; dan Dirut PT Praba, HYL.

Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Irjen Cahyono Wibowo membenarkan Halim Kalla adalah adik dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla.

"Jadi yang ditanyakan memang demikian, dan kalau saya melihat terkait rilis ini memang kami hanya inisial saja," kata Cahyono saat konferensi pers di kantornya, Senin (6/10/2025).

Cahyono menjelaskan kasus berawal ketika PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas output sebesar 2x50 MegaWatt pada 2008 silam.

Namun sebelum pelaksanaan lelang tersebut, PLN melakukan permufakatan dengan PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan PT BRN dalam lelang.

Pada 2009 sebelum dilaksanakan tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada pihak PT BRN.

"Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, pihak PLN belum mendapatkan pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," jelasnya.

KSO BRN dan PT PI baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan hingga 28 Februari 2012. Sampai amandemen kontrak ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, atau hanya mencapai 85,56 persen karena ketidakmampuan keuangan.

Namun diduga ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lain.

"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323.199.898.518 untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62.410.523,20 untuk pekerjaan mechanical electrical," jelasnya.

"Total kerugian negaranya itu 62 (juta USD), totalnya itu sekarang (sekitar) itu Rp1,3 triliun ya kalau sekarang dengan kurs sekarang. Jadi (sekitar) Rp1,35 (triliun)," sambungnya.

Namun keempat tersangka ini belum ditahan. Mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penyidik akan segera memanggil keempat pelaku untuk diperiksa sebagai tersangka. Kortas Tipikor juga akan mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang dari perkara ini.

Rekomendasi