ERA.id - Pihak bantuan hukum Front Pembela Islam (FPI) mengaku bertanya-tanya mengenai rentetan perkembangan kasus hukum yang menimpa Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab hingga yang bersangkutan ditahan oleh Polda Metro Jaya, Sabtu (12/12/2020) malam, terkait pelanggaran protokol kesehatan.
Seperti diketahui, Rizieq Shihab telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dan dugaan perbuatan pidana penghasutan di muka mum sebagaimana dimaksud Pasal 160 KUHP.
Didukung opini ahli hukum yang terlibat dalam proses penyidikan, polisi mengenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum terkait dengan perbuatannya ‘menghasut orang-orang untuk berkumpul di kediamannya’ ketika berlangsung acara pernikahan putrinya yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 14 November yang lalu.
Atas perbuatan pidana tersebut, Rizieq ditahan di rutan Ditnarkoba selama 20 hari pertama sejak 12 Desember hingga 31 Desember 2020.
Pengenaan status tersangka dan penahanan pada Rizieq Shihab dianggap oleh tim kuasa hukum FPI keliru. Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito Atmo Pawiro, dalam catatannya yang diterima ERA.id, Minggu (13/12/2020), mengatakan bahwa ada 'logika jumpalitan' dalam kasus Rizieq Shihab.
Dalam pandangan Sugito, satu-satunya perbuatan yang bisa dipersangkakan kepada Rizieq Shihab hanyalah "mengumpulkan orang atau menciptkan kerumunan pada masa berlangsungnya karantina Kesehatan" terkait pandemi COVID-19.
Sugito setuju bahwa perbuatan ini "dapat diancam dengan pidana bila merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan."
Namun, ia mengaku heran bahwa Rizieq Shihab, yang semula dipanggil sebagai saksi menyangkut berkumpulnya massa di kediamannya di Petamburan, lantas ditetapkan sebagai tersangka pada 10 Desember lalu.
"Dalam pemeriksaan oleh penyidik pada 12 Desember, dinyatakan bahwa HRS (Habib Rizieq Shihab) ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya dengan Pasal 93 UU Karantina Kesehatan, juga disangkakan dengan Pasal 160 KUHP atas perbuatannya 'menghasut orang-orang untuk berkumpul' atau 'menciptakan kerumunan' di kediamannya," kata Sugito dalam catatannya.
Atas seluruh tuduhan itu, HRS pada akhirnya menghadapi sejumlah sanksi penjara dan pidana atas tuduhan pasal berlapis.
"Mengapa akumulasi ancaman pidana ini diterapkan, mungkin hanya dengan alasan inilah HRS bisa ditahan," kata Sugito.
"Dari sinilah benar jika ada yang menganggap bahwa penggunaan pasal-pasal pidana kepada HRS adalah dipaksakan alias ‘maksain banget’."
Sugito mengatakan, seharusnya pendakwaan pasal 93 UU Karantina Kesehatan yang memuat frasa "menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan" saja sudah cukup, karena itu mencakup apa yang diatur dalam pasal 160 dan 216 KUHP. Sementara terdapat pula prinsip aturan pidana khusus yang mengesampingkan pidana umum ('lex specialis drogat legi generali').
"Faktanya pada hari ini kita tidak hanya disuguhi dengan praktek ketidakadilan, tetapi juga praktek ketidakpastian (uncertainty) dalam penegakan hukum," kata Sugito.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono secara terpisah mengatakan, ada dua alasan pihak kepolisian menahan Rizieq, yaitu objektif dan subjektif. Untuk alasan objektif, Rizieq terancam pidana penjara di atas lima tahun.
"Kemudian yang subjektif kenapa dilakukan penahanan, pertama agar tersangka tidak melarikan diri. Kemudian tersangka tidak menghilangkan barang bukti dan ketiga tidak mengulangi perbuatannya," papar Argo di Polda Metro Jaya, Minggu (13/12/2020).