ERA.id - Kemiskinan ekstrem saat ini menjadi permasalahan di Indonesia, dimana hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan. Berdasarkan data BPS, tahun 2022, kemiskinan ekstrem sebesar 2,04 persen.
Bahkan, Presiden Jokowi telah menargetkan agar kemiskinan ekstrem mencapai 0 persen pada tahun 2024. Hal ini tentu saja harus dapat diatasi dengan serius oleh pemerintah dan juga masing-masing pemerintah daerah.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan,upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah ini yaitu dengan memaksimalkan pemanfaatan dana desa dan juga APBD yang tersedia.
“Penanganan kemiskinan ekstrem ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan dana desa dan APBD dengan optimal. Dalam penggunaan dana desa ini terdapat tiga prioritas yaitu ketahanan pangan, kemiskinan ekstrem, dan penurunan stunting,” ujar Muhadjir dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Pada kesempatan Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten/Kota Sulawesi Tenggara diikuti oleh 11 Kabupaten/Kota, yakni : Kabupaten Bombana, Buton Selatan, Buton Utara, Wakatobi, Muna Barat, Konawe, Konawe Kepulauan, Konawe Selatan, Kolaka Utara, Kolaka Timur, dan Kota Baubau.
Lebih lanjut, selain melalui anggaran APBD, Dana Alokasi Khusus (DAK), Menko PMK menekankan bahwa dana desa semestinya bisa dioptimalkan untuk kemiskinan ekstrem dan penanganan stunting. Bahkan juga bisa dilakukan melalui program padat karya dana desa, baik dari segi intervensi spesifik yaitu pemenuhan gizi, ataupun intevensi sensitif seperti jambanisasi dan pemenuhan air bersih.
"Dari dana desa kepala desa bisa mengeluarkan bantuan untuk masyarakat miskin misalnya untuk memelihara ayam, dagingnya untuk makan tambahan, kalau ayamnya bisa bertelur, telurnya juga untuk makanan tambahan, sekaligus merealisasikan ketahanan pangan," ucapnya.
Kemudian terkait program padat karya dana desa, menurutnya, padat karya hlbisa dilakukan untuk membuat sesuatu yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk membuat sarana prasarana jamban, MCK, dan sarana air bersih.
"Sasaran padat karya bisa untuk membangun MCK, jamban perorangan atau jamban bersama itu lebih tepat. Dikerjakan masyarakat sekitar, sekaligus dia mendapatkan upah, dan hasilnya bisa dinikmati bersama-sama. Dengan begitu target ketiganya bisa dipenuhi sekaligus dengan memanfaatkan dana desa," jelasnya.
Dalam Keputusan Menko PMK RI Nomor 25 Tahun 2022 Tentang Kabupaten/Kota Prioritas Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Tahun 2022-2024 bahwa, Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara banyak yang masuk dalam Perluasan Kabupaten/Kota Prioritas Percepatan Pengahapusan Kemiskinan Ekstrem Tahun 2023-2024.
Salah satunya di Kabupaten Wakatobi, tingkat kemiskinan ekstrem di daerah tersebut masih cukup tinggi, yakni sebesar 2,63 persen atau 2.710 jiwa. Hal ini dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal yang dihuni, dimana dalam satu rumah terdapat 3 sampai 4 keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi tingkat ekonomi serta kesehatan keluarga. Selain itu, hal ini diperburuk dengan kondisi rumah mereka yang berada di atas air. Oleh karena itu, Bupati Wakatobi Haliana mengusulkan untuk membuat sebuah program rumah susun dengan harapan penduduk dapat tertata dengan rapih.
Lebih lanjut, berdasarkan data nasional menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tercatat bahwa kondisi stunting di wilayah Sulawesi Tenggara tahun 2022 yaitu 27,7 %. Angka ini termasuk jumlah yang cukup besar dalam upaya penurunan stunting di Indonesia. Dalam hal ini Kemenko PMK melalui KL yang bersangkutan bersama-sama untuk mengatasi masalah ini agar stunting di Indonesia dapat mengalami penurunan.
Bupati Kabupaten Bombana Burhanudin mengatakan bahwa kondisi stunting di Kabupaten Bombana berdasarkan data SSGI pada tahun 2022 mencapai 25,3% dari jumlah penduduk sebanyak 188.226 jiwa.
Dalam kesempatan ini, Bupati Kabupaten Bombana mengatakan terdapat kendala dalam mengatasi penanganan percepatan stunting ini seperti, penyebaran SDM petugas gizi, budaya menikah muda yang masih melekat di masyarakat, dan masih kurangnya pastisipasi masyarakat untuk hidup sehat.
“Kurangnya partisipasi masyarakat ini menjadi permasalahan klasik bagi kami (Kabupaten Bombana), sehingga perlu adanya pemahaman kepada masyarakat6 terkait pentingnya datang ke posyandu atau fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Sama halnya dengan partisipasi masyarakat untuk hidup sehat, ketersediaan sarana untuk mengatasi stunting ini juga tak kalah penting. Tercatat bahwa sekitar 248 unit posyandu terdapat di Kabupaten Bombana, namun antropometri yang tersedia hanya sekitar 33 unit saja. Selain itu, alat Ultrasonografi (USG) dan antropometri di daerah Kabupaten Kolaka Timur masih belum tersedia sama sekali.
Ajukan Pemerataan USG dan Antropometri
Kurangnya ketersediaan sarana ini menjadi permasalahan di setiap daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tak hanya ketersediaan antropometri dan alat USG, tenaga Kesehatan di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara pun masih terbilang cukup rendah.
Menko PMK meminta pada tiap pemerintah daerah yang ketersediaan antropometri dan USG belum terpenuhi maksimal untuk segera mengusulkan ke Kementerian Kesehatan. Menurutnya juga, adanya antropometri dan USG di tiap Posyandu dan Puskesmas sangat membantu dalam penanganan stunting.
“Berdasarkan arahan Presiden, target pada tahun 2023 alat antropometri dan USG dapat terpenuhi 100 persen, tidak hanya di Sultra, tapi di seluruh Indonesia,” tegas Menko PMK Muhadjir Effendi.
Tak hanya ketersediaan antropometri dan alat usg, tenaga Kesehatan di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara pun masih terbilang cukup rendah. Contohnya di Kabupaten Konawe Kepulauan hanya terdapat 20 dokter umum dan belum tersedia dokter spesialis. Hal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan jumlah tenaga Kesehatan yang cukup banyak dan dapat tersebar dengan luas di seluruh daerah Sulawesi Selatan.
Selain ketersediaan sarana dan prasarana untuk mengatasi stunting, pelatihan untuk tenaga kesehatan mengenai penggunaan antropometri pun juga diperlukan. Dalam hal ini setiap daerah yang berada di Sulawesi Selatan selain membutuhkan alat antropometri juga diperlukannya edukasi mengenai penggunaan alat tersebut.