ERA.id - Penggabungan koalisi antara Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dinilai membuat rumit.
"Saya sih melihat kalau seandainya bergabung, ini makin rumit, artinya kalau bergabung itu kan nanti di situ KIB punya capres, KIR juga punya capres, lalu KIB juga punya cawapres KIR juga,” kata Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, Senin (13/2/2023).
Menurut dia hal itu karena peleburan tersebut tidak menguntungkan banyak pihak, sedangkan ketua umum partai yang ada di KKIR maupun KIB tentu juga juga memiliki ambisi menjadi calon presiden.
"Minimal jadi cawapres, nah kalau digabungkan akan adanya diuntungkan maupun dirugikan," kata dia.
Contohnya, lanjut Ujang, ketika skema pasangan calon presiden yang diusung KIB dan KKIR ketika bergabung adalah pasangan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, maka Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto akan tersisih tidak bisa ikut berkontestasi sebagai capres atau cawapres.
Sementara para ketua umum parpol tersebut dari jauh hari sudah menunjukkan ambisi mereka ingin menjadi calon presiden atau wakil presiden untuk gelaran Pemilu 2024.
"Kalau dua koalisi itu bergabung, kemungkinan calon akan menjadi 2 atau tiga pasang saja. Tapi kalau mengusung sendiri-sendiri, KIB, KKIR, PDIP dan parpol yang mendukung Anies Baswedan, maka bisa jadi akan ada empat pasang calon di pilpres," kata dia.
Tetapi, menurut Ujang Komaruddin, ketika KKIR tidak bergabung dengan KIB, maka peluang kalahnya Prabowo Subianto kalau tetap berpasangan dengan Muhaimin Iskandar akan lebih besar, dibanding dengan skema bergabung ke KIB dan Prabowo menjadi cawapres dari Ganjar Pranowo.
"Saya melihatnya KIB itu tetap miliknya Jokowi, pengendalinya. Kalau skemanya seperti itu, maka kalau KKIR bergabung, otomatis Prabowo tidak bisa menjadi capres. Dia paling bisa menjadi cawapres, ini juga menjadi skema dari kelompok yang ingin ada skenario capresnya Ganjar cawapresnya Prabowo," ujar Ujang.