ERA.id - Rosti Simanjuntak menangis usai hakim membacakan vonis mati bagi Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin silam.
Bareng suami, Ibu Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J itu terbang dari Jambi ke Jakarta demi menyaksikan Ferdy diadili.
Selama sidang, guru SD itu terus memeluk foto putranya. Yosua tewas dalam peristiwa pembunuhan yang didalangi oleh eks Kadiv Propam Polri itu pada 8 Juli 2022 itu.
“Tuhan telah nyatakan mukjizatnya melalui perpanjangan tangan-Nya, yaitu hakim sebagai utusan di Bumi ini,” tutur Rosti.
Walau proses hukum belum terhenti di situ, perjuangan Rosti untuk memperjuangkan keadilan bagi putranya tak sia-sia.
Kasus yang melibatkan petinggi kepolisian dan banyak polisi itu bisa terbuka seterang-terangnya. Sejak awal, ia merasa ada kejanggalan dalam kasus pembunuhan anaknya.
Pekan sebelumnya, ibu mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Saputra, Dwi Syafiera Putri, juga bisa sedikit bernapas lega setelah Polda Metro Jaya mencabut status tersangka yang tewas tertabrak mobil pensiunan Polri.
Hasya tewas tertabrak dan masuk ke dalam kolong mobil Mitsubishi Pajero yang dikendarai oleh pensiunan Polri AKBP (purnawirawan) Eko Setia Budi pada 6 Oktober 2022.
Meski mengakui nyawa anaknya yang hilang tak akan bisa tergantikan, ia tak pernah menyangka anaknya yang telah meninggal malah dijadikan tersangka.
Tak terima almarhum anaknya diperlakukan seperti itu, Dwi mempertanyakan proses penegakan hukum. "Mana ada seorang yang ditabrak justru dijadikan tersangka."
Polda Metro kemudian mencabut surat ketetapan status tersangka dari HAS. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoduyo Wisnu Andiko mengakui terjadi kesalahan prosedur.
Pihaknya, melalui Tim Monitoring, Evaluasi, dan Analisis Polda Metro Jaya, juga menemukan alat bukti baru setelah melakukan rekonstruksi ulang kasus kecelakaan tersebut.
Kegigihan dua ibu memperjuangkan keadilan bagi putranya itu tak sia-sia. Dukungan publik pun terus mengalir karena mengusik nurani dan logika akal sehat.
Tekanan publik tersebut membuat para pemangku kepentingan kemudian menaruh perhatian penuh pada kasus tersebut.
Rasanya tak ada yang bisa meragukan lagi perjuangan seorang ibu menuntut keadilan untuk anaknya.
Sumarsih, ibu dari Bernardus Realina Norma Irmawan, juga menuntut keadilan serupa. Bernardus tewas ditembak aparat pada tragedi Semanggi,13 November 1998.
Sumarsih dan para ibu lainnya rela berpayung hitam setiap Kamis sejak 16 tahun yang lalu. Sebuah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran luar biasa bagi Sumarsih demi mendapatkan keadilan.
Edukasi hukum
Pakar hukum pidana Universitas Tarumanagara (Untar) Dr. Hery Firmansyah mengatakan meski keadilan terdapat banyak versi, yang sebenarnya adalah keadilan substantif, bukan keadilan yang prosedural.
“Meskipun (diwujudkannya) dengan cara tidak mudah, kompleks, panjang, serta menguras tenaga, waktu, pikiran, hingga biaya,” kata Hery.
Melalui berbagai kasus hukum yang mencuat tersebut, Hery menilai masyarakat bisa belajar proses penegakan hukum beragam kasus hukum secara gratis.
Masyarakat bisa mendapatkan edukasi melalui tayangan yang ditampilkan secara langsung di berbagai media tersebut.
Masyarakat juga dinilai semakin memahami bahwa penegakan hukum tidak boleh dengan cara yang melanggar hukum, tetapi musti profesional, imparsial (ketidakberpihakan), dan meyakini apa yang dilakukan juga ada pertanggungjawabannya. "Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat," ujar Hery.
Selain itu, masyarakat juga kian mengenal bagaimana tahapan proses hukum pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan bukti dan saksi-saksi di persidangan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan.
Masyarakat juga makin mengenal berbagi istilah hukum, antara lain, replik, duplik, hingga pledoi. Replik merupakan jawaban atas pembelaan dari terdakwa, yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Sementara duplik merupakan jawaban penasihat hukum atas replik penuntut umum. Pledoi adalah pembelaan yang diucapkan terdakwa.
Proses penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sehingga siapa pun tidak boleh menilai hanya dari hasil akhirnya terutama pada sistem peradilan pidana.
“Itu mengapa, jika kita melihat hasil akhir suatu sistem, itu sebenarnya bagian dari sistem pengadilan pidana. Misalnya Anda menilai bahwa ada putusan yang tidak adil, maka jangan buru-buru menjustifikasi bahwa kesalahan itu ada pada satu titik. Hal itu karena proses satu dan lainnya saling berkaitan. Apakah penyelidikannya benar, penyidikan benar, penuntutan benar, sampai pada pemeriksaan sidang pengadilan benar sehingga nanti bisa mencerminkan putusan yang berkeadilan,” terang Hery.
Dengan demikian, nilai keadilan bisa muncul jika setiap proses hukum dilakukan dengan jujur, profesional, akuntabel, dan transparan. Dalam kasus Sambo dkk., Hery mengatakan bahwa putusan hakim pengadilan negeri bukanlah akhir karena masih ada tahapan berikutnya. Jika tak menerima putusan hakim itu, Sambo dkk. bisa melakukan banding maupun hingga ke tahapan kasasi bahkan peninjauan kembali.
Ke depan, masyarakat diharapkan juga mau mengawal berbagai kasus hukum lainnya, seperti korupsi hingga narkotika, jangan sebatas pada kasus Sambo dkk. Masyarakat pun diharapkan memiliki energi yang cukup untuk dapat memberikan perhatian pada kasus-kasus hukum lainnya.
Masyarakat harus memahami bahwa mengawal kasus itu perlu, namun itu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan dari masyarakat. Daya tahan mengikuti dan mengawal kasus itu masih kurang dan mudah lalai.
"Dikira sudah sampai akhir, ternyata masih belum. Masih ada episode lain yang perlu dijalani dan itu hak konstitusi warga negara,” kata Hery mengingatkan.
Rosti, Dwi Syafiera, dan Sumarsih merupakan perempuan-perempuan tangguh yang berjuang menuntut keadilan. Mereka menyadari bahwa keadilan memang tidak datang dari langit tapi harus diperjuangkan.