ERA.id - Ketua DPP PDI Perjuangan Bambang Wuryanto mengatakan, gugatan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), terkait masa jabatan ketua umum (ketum) parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK) salah alamat.
Dia juga menyindir pihak yang mengajukan gugatan "salah minum obat". Sebab tidak paham undang-undang.
"Itu yang melakukan JR (judicial review) itu orang salah makan obat," tegas Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Menurutnya, masa jabatan ketum parpol merupakan aturan internal partai dan dijamin oleh undang-undang.
Bambang lantas mempertanyakan apa tujuan gugatan itu dilayangkan ke MK. Dia juga meminta pihak yang mengajukan gugatan mengkaji kembali apa yang menjadi gugatannya.
"Bahwa tiap parpol punya AD/ART, itu dijamin UU. Untuk urusan apa? Baca itu untuk MK itu urusan apa, enggak ada urusannya dengan partai. Nah itu yang men-JR itu mohon izin, suruh baca-baca dulu," kata Bambang.
Lantaran dinilai salah alamat, Bambang meyakini MK pun tak bakal mengabulkan gugatan tersebut.
Apabila MK mengabulkan gugatan tersebut, maka menurutnya MK sama saja dengan pemohon yang salah minum obat.
"Ini kalau yang namanya MK mengambil putusannya kaya gini, MK juga salah makan obat," ucapnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima dua gugatan judicial review atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), terkait masa jabatan ketua umum (ketum) parpol.
Pertama, gugatan yang terdaftar pada Rabu 21 Juni 2023, diajukan oleh dua orang bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta. Dikuasakan terhadap Leonardo Siahaan.
Dalam gugatannya, para pemohon mempermasalahkan masa jabatan ketum parpol yang selama ini tidak diatur dalam undang-undang. Menurut pemohon masa jabatan itu perlu diatur.
Pemohon juga menyampaikan sejumlah alasan lainnya apabila masa jabatan ketum parpol tak diatur dalam perundang-undangan. Diantaranya yaitu masa jabatan yang tidak diatur akan menciptakan keotoritarian dan dinasti dalam parpol.
Selain itu, menyebabkan kerusakan sistem demokrasi internal dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anggota parpol apabila masa jabatan ketum parpol tidak diatur.
"Dengan uraian yang disampaikan maka sudah sepatut dan sewajarnya apabila kekuasaan sebagai pemimpin partai politik untuk dibatasi masa jabatannya untuk menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan termasuk menghindari terbentuknya kekuasaan mutlak di tubuh partai politik pada sosok atau kelompok tertentu saja."
Adapun gugatan kedua dilayangkan oleh Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus O. Magai.
Namun, dalam sidang perdana perkara Perkara Nomor 53/PUU-XXI/2023 itu ditolak MK.
"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya, dikutip lewat website MK, Rabu (28/6).
Alasannya, majelis hakim menggap para penggugat tidak serius karena tidak menjalankan perbaikan sebagaimana dimintakan.
"Dalam persidangan tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim memberikan nasihat kepada para Pemohon terkait dengan permohonan a quo dan menyampaikan kepada para Pemohon mengenai batas waktu penyampaian perbaikan permohonan," kata Hakim MK Saldi Isra.
"Namun, hingga batas waktu maksimal yang ditentukan tersebut, para Pemohon tidak menyerahkan perbaikan permohonan a quo,” tambah Saldi.