ERA.id - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyampaikan bahwa sampah makanan menjadi penyumbang terbesar timbunan sampah di Indonesia.
“Jumlahnya mencapai lebih dari 40 persen pada tahun 2022. Pada periode yang sama, hal ini sebagian disebabkan oleh COVID-19. Faktanya, prevalensi gizi buruk di Indonesia mengalami peningkatan hingga mencapai di atas 10 persen pada tahun 2022. Jadi, ini adalah sebuah ironi yang membawa kita untuk berupaya memahami isu-isu ini secara lebih mendalam,” kata Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati dalam acara “International Day of Awareness of Food Loss and Waste: Tiada Sisa yang Tak Berdaya”, di Gedung Bappenas yang dipantau secara virtual, di Jakarta, Selasa.
Pihaknya disebut telah melakukan kajian food loss and waste bersama mitra lainnya yang ditempatkan sebagai sektor prioritas dalam kebijakan ekonomi sirkular, terutama pada industri makanan dan minuman.
Dalam kajian tersebut, ditemukan bahwa terdapat food loss and waste sebanyak 184 kilogram (kg) per kapita per tahun di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2019.
Hal ini menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,7 ribu megaton karbondioksida (CO2) equivalent dan kerugian hingga Rp550 triliun per tahun atau setara dengan 5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Hilangnya nutrisi akibat food and loss waste dalam 20 tahun terakhir sebenarnya dapat memberi makan sekitar 125 juta orang, atau sekitar setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Jadi ini sungguh sebuah ironi,” ujar Vivi pula.
Dalam skenario bisnis, diperkirakan food loss and waste generation di Indonesia dapat mencapai di atas 300 kg per kapita per tahun pada tahun 2045. Dengan arah pengelolaan food loss and waste yang tepat, pihaknya mengantisipasi terjadinya food loss and waste generation yang diturunkan menjadi hanya 166 kg per kapita per tahun pada tahun 2045.
Upaya antisipasi tersebut dilakukan dengan lima arah kebijakan. Pertama ialah perubahan perilaku seluruh penduduk Indonesia agar tidak boros dengan membuang makanan.
Selanjutnya, ialah perbaikan sistem pendukung pangan, lalu penguatan regulasi (yang mencakup undang-undang dan seluruh pedoman serta standardisasi) dan optimalisasi pendanaan.
“Beberapa komunitas mengusulkan agar kita harus berbicara dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengeluarkan standar tidak hanya untuk tanggal kedaluwarsanya, tapi juga untuk pelabelan produk the best before yang belum kita miliki. Ini hanyalah contoh sederhana,” kata dia pula.
Arah kebijakan keempat, yaitu memanfaatkan sisa-sisa makanan yang dibuat dengan mulai dari sektor produksi, pascapanen, hingga konsumsi. Upaya ini dapat mengurangi food loss and waste dari sektor pertanian ke sektor terkait lainnya.
Terakhir, perlu dilakukan pengembangan kajian food loss and waste sehingga hasil kajian dapat dimanfaatkan untuk evaluasi, memberikan wawasan, dan menjadi bidang strategis yang difokuskan dalam 5-20 tahun mendatang.
“Kami berharap upaya ini mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan pendekatan ekonomi sirkular yang komprehensif di sektor makanan dan minuman,” ujar Vivi pula.