ERA.id - Terdakwa kasus gratifikasi dan pencucian uang, Rafael Alun Trisambodo memohon ke majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk membebaskan dirinya dari semua dakwaan.
"Saya harap hakim dapat mempertimbangkan untuk dibebaskan dari dakwaan karena telah jujur melaporkan seluruh harta saya dalam SPT dan LHKPN serta mengikuti pengampunan pajak dari program pengungkapan sukarela," kata Rafael Alun saat membacakan nota pembelaan pribadinya di PN Jakarta Pusat, Rabu (27/12/2023).
Dalam pembacaan pleidoi atau nota pembelaannya, Rafael Alun membantah dakwaan gratifikasi yang dituduhkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK kepada dirinya.
Ia pun mengaku telah menjelaskan perincian asal usul seluruh harta kekayaannya secara tertib melalui surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta mengikuti program pengampunan pajak.
"Demi keadilan kepastian hukum perpajakan serta demi kepercayaan para pembayar pajak yang telah tertib melaporkan harta kekayaannya, dan kepercayaan kami orang-orang yang wajib melaporkan harta kami kepada LHKPN, saya harap dapat dipertimbangkan," kata dia.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa Rafael Alun Trisambodo, Junaedi, menyatakan bahwa berdasarkan fakta di persidangan, dakwaan yang dituduhkan JPU khususnya terkait penerimaan gratifikasi 90.000 dolar AS sama sekali tidak dibahas dan diklaim tidak terbukti.
"Dari berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Pak Alun bahwa awalnya ini kaitannya dengan gratifikasi 90.000 dolar AS dan selama persidangan sama sekali tidak pernah dibahas dan sama sekali tidak pernah terbukti mengenai penerimaan uang itu," kata Junaedi.
Penasihat hukum juga menyoroti beberapa tuduhan yang dinilainya telah kedaluwarsa karena telah terjadi puluhan tahun silam.
"Adapun berkembang ke beberapa harta yang semua tuduhannya penerimaan dari ARME sudah lewat 18 tahun lalu juga beberapa dalam tuntutan juga disebutkan sebagai penerimaan sudah tahun 23 tahun sudah kadaluwarsa. Jadi, Pak Alun ingin menyampaikan bagaimana sistem hukum kita yang menganut kedaluwarsa penuntutan dan itu harus dipahami sebagai bagian warisan hukum kita," ujarnya.
Sebelumnya, pada hari Senin (11/12), Rafael Alun Trisambodo dituntut hukuman pidana selama 14 tahun oleh JPU KPK.
Jaksa menilai mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahaun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu.
Selain kurungan penjara, Rafael Alun juga dituntut pidana denda sebesar Rp18.994.806.147,00. Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam kurun waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa berhak menyita harta benda terdakwa untuk kemudian dilelang.
Dalam kasus tersebut, jaksa KPK mendakwa Rafael Alun Trisambodo menerima gratifikasi senilai Rp16,6 miliar.
Dalam surat dakwaannya disebutkan bahwa perolehan harta yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari profil penghasilan terdakwa selaku pegawai negeri pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pencucian uang tersebut dilakukan Rafael Alun dengan gratifikasi Rp5.101.503.466,00 dan penerimaan lain Rp31.727.322.416,00. Sementara itu, uang sebesar Rp31,7 miliar masih belum dijelaskan asal usulnya.
Jaksa menjelaskan bahwa uang Rp5,1 miliar itu merupakan bagian dari gratifikasi Rp16,6 miliar yang merupakan dakwaan pertama terdakwa soal penerimaan gratifikasi.