Potret Wajah Pulau Gag Raja Ampat yang Berantakan karena Tambang Nikel

| 08 Jun 2025 08:07
Potret Wajah Pulau Gag Raja Ampat yang Berantakan karena Tambang Nikel
Kondisi Pulau Gag di Raja Ampat yang berantakan karena penambangan nikel. (Dok. Greenpeace Indonesia).

ERA.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendengar permintaan masyarakat adat Pulau Gag, Raja Ampat, Sorong, Papua Barat meminta operasional tambang nikel di daerahnya dilanjutkan. Warga menyampaikan itu saat Bahlil berkunjung ke Pulau Gag pada Sabtu (7/6).

Adapaun kunjungannya ke Pulau Gag untuk melihat langsung kondisi di sana setelah ramainya isu perusakan lingkungan di Raja Ampat akibat tambang Nikel yang dilakukan oleh PT GAG Nikel.

"Jadi berita berita itu benar atau salah? Makanya saya turun sendiri ini," kata Bahlil dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (7/6/2025).

Berdasarkan keterangan tertulis itu, masyarakat adat Pulau Gag yang menemui Bahlil menyebut bahwa isu yang berkembang tidak benar alias hoaks. Mereka mengklaim kondisi laut dan lingkungan sekitar tidak rusak dengan adanya aktivitas tambang nikel.

"Tidak ada pak isu itu, laut kami bersih, hoaks itu kalau pulau kami rusak, alam kami baik-baik saja pak," ujar salah satu warga Pulau Gag, Friska kepada Bahlil.

Ketua Umum Partai Golkar itu sempat menanyakan pendapat warga Pulau Gag, apakah aktivitas pertambangan nikel di daerah tersebut perlu ditutup atau tidak. Warga membalas kalau pemerintah mesti melanjutkan operasional tambang nikel.

Mereka mengklaim, penghentian aktivitas pertambangan berdampak pada ekonomi masyarakat.

"Jadi ditutup atau tidak?" tanya Bahlil.

"Langit kami biru, laut kami biru, ikan kami melimpah, alam kami kaya. Jangan tutup, pak. Kami masih hidup," jawab warga.

Bahlil menegaskan bahwa kedatangannya untuk memastikan semua operasional GAG Nikel berjalan sesuai dengan semestinya tanpa merusak alam.

"Makanya saya datang ke sini untuk memastikan langsung. Kepada seluruh masyarakat juga. Saya melihat secara objektif, apasih yang sebenarnya terjadi. Saya senang bisa ketemu warga di sini," kata Bahlil.

Kunjungan singkat ini bertujuan melihat situasi operasi tambang dan menindaklanjuti keresahan publik atas dampak pertambangan terhadap kawasan wisata di Raja Ampat.

Kondisi Pulau Gag di Raja Ampat yang berantakan karena penambangan nikel. (Dok. Greenpeace Indonesia).

Sementara Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyampaikan bahwa tidak ditemukan masalah di wilayah tambang. Meski demikian, pihaknya sudah menurunkan tim Inspektur Tambang, untuk menginspeksi di beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Raja Ampat dan mengevaluasi secara menyeluruh untuk selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM untuk mengeksekusi keputusannya.

Adapun Direktur Pengembangan Usaha PT. Aneka Tambang (Antam), I Dewa Wirantaya mengatakan bahwa PT. GAG Nikel, sebagai anak perusahaan PT. Antam, wajib menjalankan kaidah pertambangan yang baik (good mining practice), dengan menaati prosedur teknis, lingkungan, dan peraturan-peraturan yang berlaku terhadap pengelolaan area pertambangan di Pulau Gag.

Hasil evaluasi di lapangan mengungkapkan bahwa terdapat lima perusahaan yang menjalankan usaha pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond, dan PT Nurham.

Dari kelima perusahaan tersebut, PT GAG Nikel merupakan satu-satunya yang saat ini aktif memproduksi nikel dan berstatus Kontrak Karya (KK). Perusahaan ini terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan Nomor Akte Perizinan 430.K/30/DJB/2017, serta memiliki wilayah izin seluas 13.136,00 hektar.

Di samping itu, PT GAG Nikel termasuk ke dalam 13 Perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di Kawasan Hutan hingga berakhirnya izin/perjanjian berdasarkan Keputusan Presiden 41/2004 tetang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan.

Untuk diketahui, Pada 5 Juni 2025 lalu, Menteri ESDM menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dampak pertambangan terhadap kawasan wisata di Raja Ampat.

Bukti lain dari Greenpeace 

Beda dari narasi Pemerintah, organisasi nirlaba yang berfokus kepada lingkungan, Greenpeace, menelusuri Papua pada tahun lalu. Di sana, mereka menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiganya termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.

Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Secara kasat mata, ini sudah bisa diartikan sebagai perusakan. Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat–akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.

Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100.000. 

Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Kondisi Pulau Gag di Raja Ampat yang berantakan karena penambangan nikel. (Dok. Greenpeace Indonesia).

Ronisel Mambrasar, anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat mengatakan, “Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Sesumbar tentang keuntungan hilirisasi yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri.

Industrialisasi nikel terbukti menjadi ironi: Bukannya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tapi justru menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan Bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim.

Diprotes Anggota DPR RI

Anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Novita Hardini menilai aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat telah melanggar regulasi serta mengancam salah satu kekayaan hayati terbesar di dunia yang selama ini menjadi andalan Indonesia di sektor pariwisata dan konservasi.

Dia tak bisa berkompromi dengan perusakan yang terjadi di sana. "Raja Ampat bukan kawasan biasa. Ini adalah salah satu surga biodiversitas laut dunia yang sudah diakui UNESCO sebagai Global Geopark. Kawasan ini bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan. Jangan rusak kawasan ini hanya demi mengejar hilirisasi nikel," kata Novita dalam keterangannya di Jakarta, Rabu silam.

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan jelas menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk pariwisata, konservasi, budidaya laut, dan penelitian. Tidak ada satu pun pasal yang melegalkan eksplorasi tambang di kawasan tersebut,” jelasnya.

Rekomendasi