Taufik Basari NasDem Anggap Putusan Pemisahan Pemilu dari MK Dilematis

| 04 Jul 2025 17:07
Taufik Basari NasDem Anggap Putusan Pemisahan Pemilu dari MK Dilematis
ILUSTRASI. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Foekh (kiri) dan Ridwan Mansyur (kanan) memimpin sidang. (Antara)

ERA.id - Masa Jabatan DPRD tak bisa diperpanjang atau dikosongkan selama dua tahun untuk menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilu lokal dan pemilu nasional.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI, Taufik Basari. Menurutnya, opsi tersebut akan sama-sama melanggar konstitusi, karena pemilu DPRD sudah diatur dalam Pasal 22E Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun jika dikosongkan, maka hal itu akan melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang mengharuskan pemerintah daerah memiliki DPRD.

"Anggota DPRD itu dipilihnya harus melalui pemilu, tidak ada jalan lain," kata Taufik saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Menurut dia, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut merupakan putusan yang dilematis, karena dapat mengakibatkan krisis konsitusional dan constitutional deadlock yang mengunci.

Dia mengatakan bahwa putusan MK itu bersifat final dan harus ada pelaksanaan tindak lanjut. Namun, kalau putusan MK itu dilaksanakan oleh pembuat undang-undang, maka justru akan melanggar UUD 1945 tersebut terkait pemilu.

"Kenapa jadi melanggar? Kalau dilaksanakan, negara tidak melaksanakan perintah konstitusi yaitu untuk melaksanakan pemilu untuk memilih Anggota DPRD," kata dia.

Menurut dia, pemilu di tingkat nasional yang terdiri dari pemilu Presiden, DPR, DPD, tidak akan bermasalah karena dilaksanakan lima tahun sekali. Sedangkan pemilu DPRD masuk ke pemilu lokal yang harus dijeda selama 2 tahun sesuai putusan MK.

Maka dari itu, dia mengatakan bahwa setiap lembaga negara perlu memahami perannya masing-masing sesuai dengan posisinya. Dia menilai bahwa dalam putusan tersebut, MK mengambil peran sebagai positive legislator yang merupakan tugas DPR RI.

"Sejatinya MK adalah negative legislator, yang berarti menyatakan suatu permohonan melanggar atau tidak, itu saja. Setelah dinyatakan melanggar, bagaimana jalan keluar, itu diserahkan ke pembuat undang-undang," kata dia.

Rekomendasi