ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut anggaran belanja pemerintah untuk membayar jasa influencer mencapai Rp90,45 miliar sejak tahun 2017. Data tersebut berasal dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
"Anggaran mencapai Rp90,45 miliar, ini semakin marak setelah 2017 dan meningkat di tahun-tahun berikutnya," ujar peneliti ICW Egi Primayogha dalam diskusi daring, Kamis (20/8/2020).
Egi menjelaskan, ICW menggunakan kata kunci influencer dan key opinion leader (KOL) di LPSE sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hasilnya, jumlah paket pengadaan jasa influencer mencapai 40 dengan kata kunci tersebut.
Lebih lanjut, Egi mengatakan, secara umum total anggaran belanja pemerintah pusat dalam menggunakan jasa untuk aktivitas digital mencapai Rp1,29 triliun sejak tahun 2014. Rinciannya, Rp609 juta di tahun 2014, Rp5,2 miliar di tahun 2015, kemudian di tahun 2017 melonjak hingga Rp535,9 miliar.
"Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah," kata Egi.
Dari data tersebut, ICW mencatat instansi yang paling banyak melakukan aktivitas digital adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 44 paket dengan total anggaran Rp263,29 miliar. Kemenpar juga tercatat paling banyak menggunakan jasa influencer sebanyak 22 paket dengan anggaran belanja sebanyak Rp77,66 miliar.
Menariknya, anggaran terbesar untuk aktivitas digital justru adalah Kepolisian RI dengan total anggaran Rp937 miliar. "Apabila ditelusuri lagi sumber-sumber lain, tak menuntup kemungkinan anggaran lebih besar dari itu," kata Egi.
Dari temuan ini, Egi mengatakan ICW membuat sejumlah catatan. Salah satunya ICW menilai Jokowi sebagai presiden tidak percaya diri dengan program-programnya sendiri sehingga harus menggunakan jasa influencer. "Dari situ nampak Jokowi tak percaya diri dengan program-programnya, sehingga perlu menggelontorkan dana untuk influencer," ujar Egi.
Penggunaan jasa influencer untuk sosialisasi kebijakan, menurut Egi, rentan membawa pemerintah untuk memiliki kebiasaan mengambil jalan pintas. Sebabn terbiasa memuluskan suatu kebijakan dengan menggunakan jasa influencer untuk mempengaruhi opini publik.
"Ini tidak sehat dalam demokrasi karena mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan tertutupnya percakapan dengan publik," pungkasnya.