Cara Menghitung Besaran Uang Pesangon dan Aturan yang Memayunginya

| 25 Sep 2020 15:57
Cara Menghitung Besaran Uang Pesangon dan Aturan yang Memayunginya
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

ERA.id - Pandemi COVID-19 tak hanya menyerang kesehatan masyarakat. Namun, juga perekonomian. Berbagai perusahaan mengalami penurunan pendapatan sehingga menuntut mereka untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Berhubungan dengan hal tersebut, perosalan pemberian uang pesangon menjadi pembahasan yang ramai dibicarakan. Aturan pesangon PHK terhadap karyawan oleh perusahaan telah diatur dalam ungang-undang, yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Kemudian, saat ini ada RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang rencananya digunakan untuk menggantikan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Meski begitu, RUU Cipta Kerja ini mendapat sambutan yang tidak baik dari masyarakat, terutama para pekerja. Sejumlah ketentuan dinilai memberatkan para pekerja. Tidak heran jika terjadi sejumlah demonstrasi untuk membatalkan rancangan undang-undang tersebut.

Lalu bagaimana dengan aturan pesangon di dalamnya? Baik di Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 maupun RUU Cipta Kerja, uang pesangon tetap harus diberikan oleh pemberi kerja (pengusaha) kepada karyawan yang di-PHK.

Mempelajari Aturan Pesangon PHK 

Saat ini kita akan mengupas Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur soal pemberian pesangon. Dalam Pasal 156 Ayat (1) tentang Ketenagakerjaan disebutkan, "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."

Perlu diketahui bahwa hal tersebut (karyawan PHK) berbeda dengan kasus karyawan yang mengundurkan diri (resign). Karyawan yang mengundurkan diri tidak mendapat uang pesangon dari perusahaan. Meski begitu, karyawan yang mengundurkan diri tersebut akan mendapat uang penggantian hak dan uang pisah.

Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 162 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ayat (1) berbunyi, "Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4)."

Ayat (2) berbunyi, "Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama." 

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Kembali ke aturan pesangon PHK, besaran pesangon yang berhak diterima oleh karyawan juga telah diatur dalam undang-undang. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (2), terdapat beberapa poin yang menjadi acuan dalam melakukan perhitungan besaran uang pesangon yang berhak diterima. Dalam Pasal 156 Ayat (2), disebutkan bahwa perhitungan besaran uang pesangon diatur berdasarkan masa kerja yang nantinya disesuaikan dengan jumlah upah per bulan.

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Ayat (1), uang yang berhak diterima karyawan ter-PHK bukan hanya pesangong. Namun, bisa diganti atau ditambah (dan/atau) dengan uang penghargaan masa kerja. Kemudian ditambah dengan uang penggantian hak.

Cara penghitungan uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu pada Pasal 156 Ayat (3) dan Ayat (4). Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (3) disebutkan bahwa buruh atau karyawan yang memiliki masa kerja tiga tahun atau lebih mendapatkan tambahan uang penghargaan masa kerja.

Nilainya atau besarannya minimal setara dengan dua bulan upah. Jumlah tersebut meningkat seiring dengan semakin lamanya pekerja tersebut bekerja. Berikut ini adalah rincian dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (3).

a. masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah,

b. masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah,

c. masa kerja 9 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah,

d. masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah, 

e. masa kerja 15 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah, 

f. masa kerja 18 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 (duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah, 

g. masa kerja 21 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 (duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah, 

h. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Kemudian, dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (4) disebutkan bahwa pekerja yang di-PHK menerima uang penggantian hak.

Uang tersebut meliputi cuti tahunan yang belum diambil sekaligus belum gugur, biaya perjalanan pulang atau ongkos pulang untuk buruh/karyawan dan keluarganya ke tempat di mana buruh/karyawan tersebut diterima bekerja, uang penggantian perumahan dan pengobatan serta perawatan yang besarannya ditetapkan 15 persen dari nilai uang pesangon dan/atau nilai uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, dan hal-hal lain yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan tempat buruh/karyawan tersebut bekerja, atau perjanjian kerja bersama.

Selanjutnya, kita akan mempelajari bagaimana cara menghitung besaran atau nilai uang pesangon yang berhak diteruma oleh buruh atau karyawan yang di-PHK.

Cara Perhitungan Pesangon PHK

Seperti telah disinggung sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 Ayat (1), karyawan yang di-PHK berhak menerima uangpesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak.

Nah, cara penghitungan besaran uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sudah dibahas, lalu bagaimana dengan uang pesangon?

Penentuan besaran atau nilai uang pesangon mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (2). Berdasarkan online-pajak.com, uang pesangon yang dimaksud adalah hasil total dari gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap, seperti tunjangan jabatan, makan, transportasi, kesehatan, dll. 

a. Masa kerja < 1 tahun = 1 bulan upah. 

b. Masa kerja 1 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah. 

c. Masa kerja 2 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah. 

d. Masa kerja 3 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah. 

e. Masa kerja 4 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah.  

f. Masa kerja 5 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah. 

g. Masa kerja 6 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah. 

h. Masa kerja 7 tahun atau lebih, tapi masih kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah. 

i. Masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah.

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Meski begitu, perlu diingat bahwa tidak semua kasus PHK berhak mendapatkan uang pesangon seperti yang diatur dalam Pasal 156 Ayat (2). Terdapat ketentuan lain yang membuat pemberi kerja atau pengusaha berhak me-PHK pekerja atau karyawan tanpa memberi uang pesangon.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 158 Ayat (1) dengan ketentuan Pasal 158 Ayat (2) dan hak dari pekerja tersebut diatur dalam Pasal 158 Ayat (3). Pasal 158 Ayat (1) berbunyi, “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; 

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Pasal tersebut perlu didukung oleh ketentun yang diatur dalam Pasal 158 ayat (2) yang berbunyi, "Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:

a. pekerja/buruh tertangkap tangan,

b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau

c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi." 

Kemudian, hak pekerja atau karyawan yang di-PHK tersebut diatur dalam Pasal 158 Ayat (3) yang berbunyi, “Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).”

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Ada pula pasal lain yang memmbuat pekerja atau karyawan tidak berhak atas pesangon karena keadaan tertentu, seperti dalam Pasal 167 Ayat (1) yang berbunyi, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Baiklah, itu adalah cara penghitungan pesangon yang diterima pekerja atau karyawan ketika di-PHK secara umum. Perlu diketahui bahwa terdapat pula ketentuan lain terkait pesangon dan pemberhentian pekerja atau karyawan.

Mari kita lihat dahulu Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 163 Ayat (1) disebutkan, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 Ayat (4).” 

Kemudian, ada pula kondisi lain yang membuat nilai atau besaran uang pesangon menjadi 2 kali lipat dari nilai yang tertuang dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 156 Ayat (2).

Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003  Pasal 163 Ayat (2) yang berbunyi, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).”

Antara Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 163 Ayat (1) dan Ayat (2) tampak tak ada bedanya, namun sebenarnya berbeda. Cermatilah kalimat “pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja” dalam Pasal 163 Ayat (1) dan kalimat “pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya” dalam Pasal 163 Ayat (2). Kedua kalimat tersebutlah titik acu kenapa nilai uang pesangon bisa menjadi 2 kali lipat.

Masih ada lagi pasal yang mengatur mengenai hak pekerja atau karyawan terhadap uang pesangon 2 kali lipat.

Pasal yang dimaksud adalah Pasal 164 ayat (3) yang berbunyi, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Selain itu, ada pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 166 yang berbunyi, ”Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Kemudian, ada pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 167 ayat (5) yang berbunyi, “Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Jika sebelumnya terdapat aturan bahwa orang yang mengundurkan diri tidak berhak memperoleh uang pesangon, ada pula pasal yang mengatur hak pesangon bagi pekerja atau karyawan yang memohon atas suatu PHK.

Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 169 ayat (1) yang berbunyi, “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh;

b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; 

d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; 

e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Hak pesangon pekerja tersebut diatur dalam Pasal 169 Ayat (2) yang berbunyi, “Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Selain itu, ada pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 172 UU yang berbunyi, “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Rekomendasi