Tolak RUU Cipta Kerja, PKS dan Demokrat Masih Mau Berdialog?

| 04 Oct 2020 09:30
Tolak RUU Cipta Kerja, PKS dan Demokrat Masih Mau Berdialog?
Penyerahan draf RUU Ciptaker (Gabriella/ era.id)

ERA.id - Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) telah disepakati untuk segera disahkan dalam rapat paripurna. Keputusan tersebut disetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah saat pengambilan keputusan tingkat I di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/10/2020).

Dari sembilan fraksi, dua fraksi menolak RUU Ciptaker disahkan yaitu fraksi Demokrat dan PKS. Hinca Pandjaitan, mewakili fraksi Partai Demokrat, mengungkap sejumlah alasan belum menyetujui RUU Ciptaker. Demokrat mengusulkan agar pengambilan keputusan tingkat I ditunda.

Demokrat memandang, RUU Ciptaker tidak memiliki urgensi dan kepentingan memaksa di pandemi COVID-19 ini. RUU sapu jagat tersebut dianggap terlalu dipaksakan apalagi RUU ini menyangkut luas banyak undang-undang, sehingga dikhawatirkan menjadi UU yang serampangan.

Demokrat masih menilai RUU ini jika disahkan akan memberangus hak-hak buruh. RUU Cipta Kerja juga dianggap membuat perekonomian Indonesia bersifat liberalistik dan kapitalistik.

Selain cacat substansi dan cacat prosedur, pembahasan RUU Cipta Kerja kurang akuntabel karena tidak melibatkan masyarakat sipil dan buruh.

"Berdasarkan argumentasi dan catatan penting di atas maka izinkan kami fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini. Kami menilai banyak yang harus dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif kita tak perlu terburu-buru kami menyarankan pembahasan lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan," kata Hinca.

Sementara, PKS juga menyatakan menolak RUU Cipta Kerja untuk disetujui di tingkat pertama. Anggota Baleg DPR RI FPKS, Ledia Hanifa Amaliah, menyampaikan sejumlah catatan. antara lain pembahasan RUU Ciptaker pada masa pandemi COVID-19 ini menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal Undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," paparnya.

PKS juga menilai, RUU Ciptaker tidak fokus pada masalah investasi seperti tujuan awal. Selain itu juga berpotensi merugikan pekerja, terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, Fraksi PKS menyatakan menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai undang-undang," pungkasnya.

Terkait hal ini, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah masih membuka ruang dialog bagi Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk membahas Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). 

"Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS, sebetulnya kalau mau dialog, tetap kami buka," ujar Airlangga dalam pengambilan keputusan tingkat I di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/10/2020) malam.

Airlangga mengatakan, pemerintah dan fraksi yang menolak masih memiliki cukup waktu hingga rapat paripurna DPR RI untuk membicarakan beberapa catatan yang mendasari penolakan pengesahan RUU Ciptaker.

Bahkan, Ketua Umum Partai Golkar ini siap diundang oleh Demokrat dan PKS untuk berdialog. "Masih ada waktu dialog, dan kami bisa mengingatkan kami siap hadir di fraksi Demokrat atau PKS sambil kita menunggu rapat paripurna," tegas Airlangga.

Penolakan Fraksi PKS dan Demokrat disampaikan saat membacakan pendapat mini fraksi dalam pengambilan keputusan tingkat I atas pembahasan RUU Ciptaker

Hinca Panjaitan, mewakili fraksi Partai Demokrat, mengungkap sejumlah alasan belum menyetujui RUU Ciptaker. Demokrat mengusulkan agar pengambilan keputusan terhadap Omnibus Law ditunda.

Demokrat memandang, RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi dan kepentingan memaksa di pandemi ini. RUU Cipta Kerja dianggap terlalu dipaksakan apalagi RUU ini menyangkut luas banyak undang-undang, sehingga dikhawatirkan menjadi UU yang serampangan.

Rekomendasi