ERA.id - Analis politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono menyinggung kotak kosong dan Munafri Arifuddin yang berpasangan dengan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) pada Pilkada Makassar 2018 lalu. Ia merujuk hal tersebut untuk berkaca pada konstelasi politik di Pilkada Semarang 2020.
Menurutnya, atas kejadian itu bersama hasilnya, masyarakat mestinya bisa menekan angka golput pada 9 Desember 2020, entah itu menusuk calon tertentu atau kotak kosong. Caranya dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS).
Kata Teguh, dengan datang ke TPS, berarti masyarakat bisa menyalurkan ekspresi mereka secara politik. "Mendorong supaya orang punya komitmen bahwa kepemimpinan ini merupakan kebutuhan kita," kata Dr. Teguh Yuwono.
"Memilih pemimpin adalah kebutuhan masyarakat, kemudian berpartisipasi merupakan bagian dari nasionalisme."
Sebab fenomena itu pula, Teguh menyinggung gerakan Hendi-Ita di Pilkada Semarang 2015, saat mengalahkan pasangan Soemarmo-Juber Safawi yang diusung PKB dan PKS dengan 220.745 suara, dan pasangan Sigit Ibnugroho-Agus Sutyoso yang diusung Gerindra, PAN, dan Partai Golkar dengan meraih 149.712 suara.
Kini, Hendi-Ita berpeluang besar menang lagi pada Pilwalkot Semarang 2020 sebab lawannya adalah kotak kosong. Serupa tapi tak sama dengan Makassar. Di Semarang, Hendi–Ita diusung oleh semua partai yang memiliki kursi di DPRD Kota Semarang, yakni PDIP, Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, NasDem, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Golkar, dan PKS. Sementara di Makassar, lawan Munafri didiskualifikasi.
"Bisa jadi, munculnya calon tunggal pada Pilkada 2020 karena tidak ada yang berani tampil melawan paslon petahana," kata Teguh menandaskan.
"Bahkan, calon tunggal itu bisa kalah dengan kolom kosong yang tidak bergambar (kotak kosong) karena memang tidak dikehendaki oleh rakyat," kata Teguh.
Sekadar diketahui, pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rahmatika Dewi meraih 46,77 persen, atau kalah dengan kotak kosong yang persentasenya mencapai 53,23 persen dari total suara sah.