ERA.id - DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang (UU) pada 5 Oktober 2020. Sepekan berlalu, keberadaan draf final RUU masih tak jelas.
Publik hingga kini belum bisa mengakses draf final RUU Cipta Kerja, bahkan sejumlah fraksi di DPR RI mengaku tak memegang draf final hingga usai rapat paripurna berlalu. Pimpinan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dan Sekretariat DPR RI menyebut draf final RUU Cipta Kerja belum ada dengan dalih sedang dirapikan. Sementara pemerintah terus menerus menyebut informasi yang beredar sebagai hoaks dan meminta publik untuk membaca UU Cipta Kerja dengan cermat.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai UU Cipta Kerja cacat prosedural. Sebab, seharusnya draf RUU sudah dibagikan sejak awal hingga menjelang rapat paripurna.
"Jadi sedari awal sudah wajib dibagikan kan asas pembentukan UU berdasarkan yaitu asas keterbukaan yang diatur Pasal 5 huruf g UU 12 Tahun 2011. Makanya cacat prosedur dari pembentukan UU ini jelas dan nyata," ujar Feri saat dihubungi, Senin (12/10/2020).
Selain itu pembahasan UU Cipta Kerja juga tidak menjalankan kewajiban pembuatan UU yang harus melibatkan partisipasi publik. Hal itu jelas tercantum dalam Pasal 96 UU Nomor 12 tahun 2011.
"(Pasal itu) soal partisipasi publik yang sedari awal (pembahasan) tidak melibatkan publik. Jadi cacat prosdurnya parah," ucapnya.
Fraksi PKS dan Demokrat Mengaku Belum Dapat Naskah Final
Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, draf final tidak dibagikan ke seluruh fraksi ketika pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, serta pengambilan keputusan tingkat II di sidang Rapat Paripurna. Kenyataan itu dinilai aneh, apalagi setiap fraksi diminta menyampaikan pendapat tetapi draf utuh belum diserahkan.
"Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi 'dipaksa' untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draf secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu," kata Hidayat melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Alasan yang sama juga diungkapkan anggota DPR RI Fraksi Demokrat Didi Irawadi yang mengklaim sama sekali belum menerima naskah final RUU tersebut meskipun fraksinya hadir dalam rapat. Keanehan lainnya, ungkap Didi, pimpinan DPR RI diakui terburu-buru dan tetap memaksakan rapat paripurna digelar.
Seharusnya, kata Didi, pimpinan dewan mempersiapkan lagi naskah RUU tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingha seluruh anggota dewan mendapatkan RUU yang lengkap dan komperhensif.
"Jika alasan pimpinan dewan tidak cukup waktu mencetak dan membagikannya, justru harusnya pimpinan dewan bersikap bijak dan memutuskan rapat ditunda dulu. Bukannya malah tergesa-gesa dan tetap memaksakan rapat (paripurna)," tegasnya.
Draf Masih Dirapikan dan Tak Wajib Dipublikasikan
Simpang siurnya keberdaan draf final RUU Cipta Kerja ditanggapi Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi. Ia mengatakan aturan dalam tata tertib tak mewajibkan draf dibagikan ke publik meskipun telah disahkan dalam rapat paripurna.
"Kan tidak harus dibagikan sesuai tatib DPR. Yang wajib dibagikan sesuai tatib DPR itu pidato Pimpinan DPR pembukaan dan penutupan masa sidang, ada di Pasal 253 ayat 5. Dan bahan rapat kerja dengan pemerintah dan pakar, itu di Pasal 286," papar Awiek, Kamis (8/10/2020).
Politisi PPP ini bahkan menyebutkan draf RUU Cipta Kerja yang banyak beredar bukan merupakan versi final. Dia mengatakan, ada banyak versi draf yang akhirnya mengacaukan pemberitaan.
"Ternyata sebelum benar-benar final itu ada yang share, sehingga banyak versi yang membuat kacau dunia pemberitaan," kata Awiek.
Namun dia tak menjelaskan mana saja versi yang membuat kacau pemeberitaan, malahan dia melepar ke pimpinan DPR RI mengenai keberadaan draf final RUU Cipta Kerja.
"Cek ke pimpinan," katanya.
Sementara Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan saat ini proses draf UU Cipta Kerja masih dirapikan. Setelah rampung, maka akan diserahkan ke presiden agar diundangkan. Kemudian disampaikan ke publik.
"Ini kan berdasarkan hasil yang sudah diputuskan, ini sedang dirapikan kembali. Dan nanti itu akan disampaikan ke presiden untuk dijadikan UU. Setelah ditandatangani baru lah disampaikan ke publik," kata Indra.
Indra memastikan, pengesahan RUU Cipta Kerja sudah sesuai tata tertib DPR. Dia menjelaskan, DPR memiliki batas waktu selama 30 hari untuk merapikan draf dan tidak ada perubahan substansi dalam finalisasi draf.
"Format aja. Jadi kalau untuk substansi sudah selesai di tingkat satu dan di catatan di Bamus," ucapnya.
Presiden Sebut Banyak Hoaks Soal UU Cipta Kerja
Ketiadaan draf final RUU Cipta Kerja, membuat pemerintah menyebut informasi terkait UU Cipta Kerja hingga menimbulkan gelombang demontrasi besar-besaran sebagai hoaks. Para menteri Kebinet Indonesia Maju kompak membeberkan isi UU tersebut dengan nada positif.
Bahkan Presiden Joko Widodo menegaskan aksi unjuk rasa dilatar belakangi pemberitaan negatif dari media dan hoaks di media sosial. Contohnya, terkait beberapa substansi di klaster ketenagakerjaan, permasalahan AMDAL, dan resentralisasi kewenangan dari pemda ke pempus yang disebut banyak salah diberitakan.
"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Ciptaker yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substasni dari UU ini dan hoaks di media sosial," kata Jokowi, Jumat (9/10/2020).
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai pernyataan Presiden Jokowi sedang bersandiwara. Menurutnya, disinformasi itu dikarenakan tidak adanya akses bagi publik untuk membaca draf final. Padahal, dengan kemudahan akses tersebut, publik tentunya bisa ikut mengecek isi dan substansi dari UU Cipta Kerja.
"Bagaiamana hoaks dan disinformasi wong yang megang informasi presiden dan DPR. Kewajiban membentuk UU terbuka dan partisipatif tidak dilakukan, kok malah nuduh hoaks dan disinfomasi. Presiden bersandiwara saja," ujarnya.