Menilai Survei, Danny-Fatma Harus Berkaca di Pilkada DKI Jakarta

| 23 Oct 2020 10:48
Menilai Survei, Danny-Fatma Harus Berkaca di Pilkada DKI Jakarta
Danny-Fatma/Ist

ERA.id - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Samsir Rahim, berpendapat peta pertarungan pada Pilwalkot Makassar 2020 masih sangat dinamis. Meski demikian, tidak mengubah semangat awal mayoritas warga Kota Makassar yang menginginkan wali kota baru.

Hal itu terekam dari sejumlah hasil survei, termasuk survei terakhir dari SMRC. Dalam survei itu, Danny-Fatma mengantongi 41.9 persen suara dari total 100 persen responden yang dilakukan secara random (acak).

Menurut Samsir, terlepas dari keunggulan pasangan calon Danny Pomanto-Fatmawati (ADAMA), elektabilitasnya sebagai petahana terbilang sangat kecil karena selalu di bawah angka 50 persen.

Ini berkaca pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, di mana Ahok yang unggul lebih banyak dari Anies Baswedan, di bawah 50 persen, masih bisa ditumbangkan di menit akhir. Sejumlah lembaga survei pun jadi tumbal sebab kredibilitasnya dipertanyakan, karena menempatkan Ahok sebagai pemenang, namun hasil akhir berkata lain.

Jangan melihat itu saja, di balik kerja tim Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta yang lalu, ada nama yang tidak asing di Makassar. Ya, Erwin Aksa. Sedikit banyaknya, ia bawa pengaruh dalam pertarungan sengit Ahok vs Anies.

Kini, Erwin Aksa turun gunung ke skala lokal, untuk membantu lagonya, Munafri Arifuddin yang berpasangan dengan Rahman Bando (Appi-Rahman) untuk menggoyahkan Danny-Fatma di survei teratas. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia membawa Wakil Ketua Dewan Gerindra, Sandiaga Salahudin Uno untuk mengendorse khusus Appi-Rahman.

Tentu saja Ponakan Jusuf Kalla ini punya modal dan kalkulasi hitungan yang baik, setelah pengalaman Pilpres 2019 di mana Prabowo-Sandi mendominasi suara di Sulsel serta Pilgub DKI Jakarta. Dua hal itu tak bisa dipandang remeh Danny Pomanto dan koalisinya. Ya, satu lagi, pengaruh Jusuf Kalla bisa jadi modal kuat pula.

Erwin Aksa bersama Anies Baswedan, Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud/Ist

Kembali pada penilaian Samsir, dari survei SMRC itu, hasilnya mengindikasikan lebih banyak warga Kota Makassar yang menginginkan dipimpin figur baru. Olehnya, posisi DP sebagai petahana tentunya masih jauh dari aman.

"Hasil sejumlah survei, termasuk yang terakhir (SMRC) menunjukkan elektabilitas DP sebagai kandidat yang bisa dibilang berstatus petahana berada dalam bahaya. Tingkat keterpilihannya di bawah 50 persen, ya itu alarm tanda bahaya yang artinya mayoritas warga Kota Makassar menginginkan wali kota baru, publik mau dipimpin figur baru," terang Samsir, Kamis (22/10/2020) kemarin.

SMRC diketahui merilis hasil survei pada 21-25 September 2020 melibatkan 410 sampel dengan metode multistage random dan margin error lebih kurang 5 persen.

Hasilnya, elektabilitas ADAMA paling tinggi sebesar 41,9 persen. Disusul Munafri Arifuddin-Abd Rahman Bando (APPI-RAHMAN) 17,8 persen, Syamsu Rizal-Fadli Ananda (DILAN) 16,6 persen dan Irman Yasin Limpo-Andi M Zunnun (IMUN) 6,8 persen. Sementara itu, responden yang belum menentukan pilihan 16,9 persen.

Erwin Aksa saat mengampanyekan Appi-Rahman/Ist

Samsir mengimbuhkan, yang menarik dicermati dari survei SMRC tergambar pula bahwa hampir separuh warga atau 49 persen belum menentukan pilihan di Pilwalkot Makassar 2020. Kondisi itu dinilainya membuat posisi DP sangat rapuh sebagai petahana. 

Besar kemungkinan, mereka yang belum menentukan arah dukungan akan condong golput atau memilih figur pemimpin baru.

"Survei terbaru itu (SMRC) memberikan gambaran jelas bahwa pertarungan di Pilwalkot Makassar 2020 masih sangat dinamis sekaligus menggambarkan posisi DP yang sangat rapuh sebagai petahana. Elektabilitasnya terbilang sangat rendah, ditambah lagi 49 persen warga belum menentukan pilihan," ucap dia.

Lebih jauh, Samsir menerangkan DP harus kerja ekstra bila ingin kembali memimpin Kota Makassar untuk periode kedua. Hasil survei 41,9 persen jauh dari kata aman. Petahana yang kuat harus punya modal elektabilitas di atas 60 persen.

Bila tingkat keterpilihannya di bawah angka itu, artinya bisa dilawan dan bila elektabilitasnya malah di bawah 50 persen menunjukkan posisi petahana rentan dikalahkan.

"Petahana baru dibilang kuat kalau elektabilitasnya di atas 60 persen. Hitungannya kalau popularitasnya di atas 80 persen, maka elektabilitasnya minimal 60 persen. Di bawah itu artinya petahana lemah bisa dilawan, kalau di bawah 50 persen ya lebih gawat lagi, itu menunjukkan petahana rampung dan mudah dikalahkan," ucapnya.

Meski demikian, Samsir mengungkapkan penantang juga butuh strategi jitu bila ingin menjungkalkan petahana. Terlebih, sisa waktu menuju pertarungan semakin sempit, kurang dari dua bulan.

"Posisi petahana sekarang rapuh dan publik kecenderungan menginginkan wali kota baru. Itu peluang bagi penantang, jika ingin menang ya harus cerdas memainkan taktik dan strategi," tandasnya.

Tags : pilkada 2020
Rekomendasi