Stafsus Menteri KKP Ikut Korupsi, Pengamat: Banyak yang Lampaui Kewenangan

| 28 Nov 2020 15:05
Stafsus Menteri KKP Ikut Korupsi, Pengamat: Banyak yang Lampaui Kewenangan
Edhy Prabowo bersama Andreau Pribadi (Dok. Instagram andreau_pribadi)

ERA.id - Korupsi dugaan suap ekspor benih lobster atau benur tidak dilakukan sendirian oleh Edhy Prabowo, tapi juga menyeret staf khusus (stafsus) menterinya yaitu Andreau Pribadi Misata. Melihat kasus tersebut, pemerhati kebijakan publik Chazali Situmorang menyebut banyak stafsus menteri yang melampaui kewenangan.

Dia menjelaskan, menurut Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 diatur bahwa stafsus menteri bertugas memberikan masukan atau saran kepada menteri sesuai penugasan di luar tugas-tugas yang sudah dikerjakan oleh eselon I kementerian.

"Intinya, stafsus itu berada dalam posisi memberikan masukan kepada menteri sebagai thinktank dalam konteks di luar yang sudah dilakukan oleh eselon I di kementerian," ujar Chazali dalam diskusi radio bertajuk 'Mencari Kekhususan Staf Khusus', Sabtu (28/11/2020).

Namun sayangnya, saat ini banyak stafsus menteri yang cenderung sering tampil di depan publik dan mengambil alih tugas para pejabat eselon I di kementerian tersebut. Padahal seharusnya, mereka lebih banyak berada di belakang layar ketimbang berhadapan dengan publik.

Hal itulah, menurut Chazali yang kemudian menjadi persolan seperti yang dihadapi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) paska ditetapkannya Edhy Prabowo sebagai tersangka tindak pindana korupsi.

"Contoh KKP itu menggambarkan bagaimana stafsus itu melakukan tugas-tugas yang  seharusnya dilakukan para dirjen yang terkait dengan persoalan-persoalan KKP. Jadi ketemu persoalan seperti ini kan jadinya rumit," katanya.

Mantan birokrat kementerian ini mengatakan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan adanya jabatan stafsus menteri, asalkan para staf khusus menteri itu menjalankan tugas dan fungsinya sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sayangnya, kata Chazali, sering kali stafsus menteri mendapat arahan dari menteri yang keluar jalur perundang-udangan. Jika dibiarkan, akan muncul birokrasi trap yang berakibat fatal.

"Bahayanya birokrasi trap ini kalau sampai para pejabat (eselon I) itu membiarkan apa yang terjadi sampai naik ke atas, lalu di stafsus menteri tidak menguasai persoalan, sampai ke menteri. Menteri membuat kebijakan yang itu terkadang mennyimpang. Di situ lah timbul persoalan," paparnya.

Seperti diketahui, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Andreau Pribadi dan pihak swasta Amiril Mukminin berperan penting dalam kasus dugaan suap ekspor benur. Sebab, mereka adalah orang yang bertugas memeriksa kelengkapan dokumen yang diajukan eksportir.

Keduanya diduga menentukan biaya angkut ekspor benih yaitu Rp1.800 per ekor. Pengangkutan dilakukan oleh PT Aero Citra Kargo, satu-satunya perusahaan yang ditunjuk melakukan kegiatan itu. Padahal, harga wajar angkut ialah Rp200-300 per ekor.

Di PT ACK, KPK menduga Edhy memiliki sejumlah saham yang menggunakan nominee alias pinjam nama. Dari duit angkut lobster yang diterima PT ACK dari perusahaan eksportir, KPK menduga sebanyak Rp9,8 miliar mengalir ke kantong Amri dan Ahmad Bahtiar, pemilik saham PT ACK.

Duit itu diduga ditujukan untuk keperluan Edhy, istrinya Iis Rosyita Dewi, Andreau dan Safri, Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Ekspor Benih Lobster.

Rekomendasi