ERA.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 kembali menjadi perdebatan. Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang sedang dibahas oleh DPR RI, Pilkada diusulkan agar digelar pada tahun 2022 dan 2023.
Pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menilai, Pemilu nasional dan Pilkada digelar secara serentak merupakan penumpukan konflik dan berisiko. Seperti diketahui, dalam UU Pilkada dan UU Pemilu yang berlaku, pada 2024 akan dilaksanakan Pilkada, Pileg, dan Pilpres di tahun yang sama.
"Konflik politik karena perbedaan kepentingan adalah normal. Yang harus dilakukan adalah mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan. Demokrasi adalah satu cara untuk tujuan itu. Pemilu/pilkada dilakukan serempak adalah bentuk penumpukan konflik dan beresiko," ujar Saiful Mujani dalam keterangannya dikutip pada Senin (1/2/2021).
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga risiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," imbuhnya.
Saiful menilai, Pilkada dan Pemilu jika dipisahkan akan mudah dikelola. Contohnya adalah penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dianggap sukses meski digelar saat pandemi.
Namun, berkaca pada Pemilu Serentak 2019, penyelenggaraannya kurang terkelola. Hasilnya, banyak korban berjatuhan.
"Pemilu dan pilpres 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Kurang terkelola dengan baik. Banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting. Jangan diulang," jelasnya.
Lebih lanjut, Saiful menjelaskan uji materi di Mahkamah Konstitusi menyatukan Pemilu dan Pilpres dikabulkan karena alasan politik praktis daripada pengelolaan demokrasi. Menurutnya, hal itu tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak," jelas Saiful.
Namun, tujuan tersebut tidak tercapai lantaran DPR tetap membuat UU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.
"Tujuan ini tak tercapai. DPR tetap membuat UU agar capres didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Tresholdnya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan," jelasnya.