Jokowi Beda Sikap Soal Pilkada, Tak Ingin Tunda di 2020 Tapi Ingin Ada di 2024

| 02 Feb 2021 08:00
Jokowi Beda Sikap Soal Pilkada, Tak Ingin Tunda di 2020 Tapi Ingin Ada di 2024
Jokowi (Dok. Instagram Jokowi)

ERA.id -  Presiden Joko Widodo memberi sinyal tak setuju dengan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang sedang dibahas di DPR RI. Alasannya, dia tak ingin aturan kepemiluan banyak diubah dan menginginkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 tetap dilaksanakan.

Padahal jika Pilkada tetap digelar di tahun 2024, maka akan ada ratusan yang bakal dipimpin pejabat sementara. Karena itu banyak yang mendesak agar pilkada digelar pada 2022 dan 2023. Hal ini bertolak belakang dengan sikap Jokowi yang memaksakan Pilkada 2020 tetap digelar meskipun banyak desakan untuk ditunda karena Indonesia masih dilanda pandemi COVID-19.

"Itu juga yang dibingungkan. Alasan ini bertolak belakang dengan alasan ketika menolak penundaan pilkada yang lalu. Padahal jika digabungkan jumlah daerahnya, maka Plt-nya (pelaksana tugas) akan lebih banyak," ujar Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati kepada wartawan, Senin (1/2/2021).

Berkaca dari tetap dilaksanakannya Pilkada 2020, seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menolak normalisasi Pilkada 2022 dan 2023. Lebih lanjut, Perludem menilai, normalisasi Pilkada seperti yang dirancang dalam RUU Pemilu memang diperlukan. Alasannya, jika Pemilu nasional dan Pilkada serentak dilakukan di tahun yang sama akan menimbulkan banyak beban dan kompleksitas.

"Jika Pilkada seluruh daerah juga diselenggarakan di tahun 2024 maka akan berimplikasi pada kompleksitas penyelenggarannya. Walaupun penyelenggaraan Pemilu nasional dan Pilkada tidak diselenggarakan di hari yang sama tetapi pasti tahapannya akan berhimpitan," kata Khoirunnisa.

Alasan lainnya, kata Khoirunnisa, dalam draf RUU Pemilu juga mengubah desain keserentakan Pemilu. RUU ini mengatur antara Pemilu nasional dan Pemilu daerah dipisah. Adapun yang dimaksud dengan Pemilu nasional yaitu Pilpres, Pileg DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan Pemilu daerah hanya Pilkada.

"Sehingga perlu ada penyesuaian jadwal Pilkada kita sehingga perlu ada normalisasi jadwal Pilkada, dengan demikian bisa ada penyesuaian jadwal Pilkada dan serentak di 2027," kata Khoirunnisa.

Dua Partai Politik Sepakat Normalisasi Pilkada

Gelaran Pilkada 2024 ini pun menjadi polemik di antara partai-partai politik. Sebagian besar partai politik sepakat dengan keinginan Jokowi, namun beberapa lainnya  menolak Pilkada 2024 dan mendukung normalisasi Pilkada 2022 dan 2023.

NasDem, meskipun merupakan partai politik koalisi pemerintah, merupakan salah satu partai politik yang menolak Pilkada 2024. Ketua Fraksi Partai NasDem Ahmad Ali mengatakan, tidak relevan apabila menunda Pilkada 2022 dan 2023. Namun Pilkada 2020 tetap dilaksanakan dengan alasan agar stabilitas pemerintahan tak terganggu.

"Pelaksanaan Pilkada Serentak pada 2024 hanya akan membuat banyaknya Plt Kepala Daerah dan/atau Penjabat Kepala Daerah dalam rentang waktu satu hingga dua tahun," kata Ali melalui keterangan tertulisnya, Senin (1/2/2021).

"Menjadi tidak relevan apabila dikatakan bahwa pilkada 2022 dan 2023 mengganggu stabilitas pemerintahan nasional," imbuhnya.

Kondisi tersebut, menurut NasDem, berpotensi membuka celah terjadinya rekayasa politik untuk mendukung kepentingan pihak tertentu dan jauh dari komitmen pelayanan bagi publik.

Selain itu, penyatuan pemilu nasional dan pilkada, legislatif dan eksekutif, dan terutama pilpres justru beresiko lebih besar untuk mengganggu stabilitas politik dan sosial serta dapat berisiko melemahkan arah berjalannya sistem demokrasi.

"Selain itu, akan terjadi pula penumpukan biaya yang membebani APBN, sementara sistem keuangan dan anggaran pemilu yang ada pada saat ini perlu untuk dipertahankan dan terus disempurnakan," kata Ali.

Senada, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyebut sikap Jokowi tak konsisten karena menolak penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023. Sementara, pemerintah sebelumnya ngotot ingin digelar Pilkada 2020 dengan alasan tak ingin daerah dijabat pejabat sementara.

Sebab, apabila Pilkada tetap diserentakkan secara nasional pada 2024, akan banyak daerah yang dipimpin oleh pejabat sementara atau pelaksana tugas (Plt) dalam rentang waktu yang panjang hingga dua tahunan.

"Pemerintah, walau sebelumnya didesak untuk tidak melakukan pilkada di era pandemi Covid-19, tetap kekeh menjalankan pilkada pada 2020. Dengan alasan antara lain kalau dimundurkan akan hadirkan distabilitas politik dan kerawanan keamanan. Lalu, mengapa sekarang justru tidak mau meneruskan kebijakan itu untuk ratusan daerah yang berakhir kepemimpinannya pada tahun 2022 dan 2023?" katanya dalam siaran pers, Senin (1/2).

Menurut Hidayat, menunda Pilkada 2022 dan 2023 akan menimbulkan instabilitas politik dan keamanan. Daerah akan dipimpin pejabat sementara yang ditunjuk pemerintah dalam waktu yang cukup panjang. Sementara kewenangannya terbatas. Ditambah akan pula menghadapi persiapan Pilpres dan Pilkada di 2024 jika tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku.

"Justru sangat bisa terjadi distabilitas politik dan keamanan karena akan ada banyak daerah yang hanya dipimpin oleh Plt. Berbeda bila Pilkada yang mestinya diselenggarakan pada 2022/2023 sudah diselenggarakan sesuai jadwalnya, maka beban Pilpres/Pileg berkurang dan sudah diurusi oleh Kepala Daerah definitif yang dipilih oleh Rakyat," katanya.

Jumlah Plt Jika Pilkada Digelar 2024 Lebih Banyak

Saat pemerintah memaksakan Pilkada 2020 tetap digelar, salah satu alasan yang dilontarkan adalah timbulnya ketidakstabilan pemerintahan karena banyak daerah yang bakal dipimpin pejabat sementara.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pada saat itu menyebut, bakal ada 270 Pelaksana tugas (plt) yang diperintahkan menjadi  kepala daerah.

"Apakah kita mau mundur sampai Covid selesai tahun 2022?  Saya (bisa) punya 270 Plt dengan tanda tangan Bapak Presiden untuk gubernur dan Plt bupati. Ini yang teken Mendagri," kata Tito lewat siaran pers diterima, Jumat (19/6/2020).

Hal hal tersebut, menurut Tito, tidak baik untuk demokrasi. Sebab, Plt bukan mandat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah.

"Apakah ini (Plt) baik? Tidak. Kenapa? Karena Plt itu terbatas kewenangannya dan tidak memiliki legitimasi dari rakyat, " kata dia.

Sementara jika Pilkada 2024, justru menghasilkan lebih banyak Plt. Setidaknya akan ada 272 daerah yang bakal dipimpin pejabat sementara. Rinciannya, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, salah satunya adalah DKI Jakarta sebab Anies Baswedan merupakan kepala daerah hasil dari Pilkada 2017.

Sementera di tahun 2023, terdapat 171 kepala daerah yang akan mengakhiri masa jabatannya. Mereka merupakan pemenang Pilkada 2018.

Rekomendasi