Percepatan Teknologi dan UU ITE, Masyarakat Perlu Waspada Hoaks dan Tingkatkan Literasi

| 09 Mar 2021 18:00
Percepatan Teknologi dan UU ITE, Masyarakat Perlu Waspada Hoaks dan Tingkatkan Literasi
Yuliandre Darwis (Dok. Istimewa)

ERA.id - Anggota Komisi I DPR RI Ahmad Rizki Sadig menilai saat ini kehidupan masyarakat tak dapat terlepas dari penggunaan teknologi termasuk internet. Ia memberikan catatan seiring dengan hal tersebut, masyarakat juga harus meningkatkan kemampuan untuk lebih bijak dan bertanggungjawab terhadap apa yang akan diunggah misalnya ke media sosial.

"Sehingga tidak bisa keserempet dengan aturan-aturan yang berhubungan dengan undang-undang ITE, itu yang sering kali akan menjebak di dalam persoalan-persoalan yang bersifat komunikasi informasi dan teknologi ini," katanya dalam diskusi daring, Rabu (9/3/2021).

Menurutnya, dalam penggunaan teknologi saat ini yang perlu dilakukan bukan hanya soal dapat mengoperasikan alat-alat komunikasi dengan baik, tapi juga memahami aturan dan efek bila tak menggunakan media komunikasi dengan baik. 

"Juga perlu belajar tentang aturan-aturannya, agar kemudian tidak dipersalahkan apabila ada sesuatu, eforia penggunaan alat-alat komunikasi yang begitu canggih saat ini, membuat begitu mudah untuk mengabarkan berita-berita yang belum tentu di kroscek kebenarannya, sehingga bisa jadi diri sendiri menjadi bagian dari yang menyebarkan berita bohong, jadi ini juga harus hati-hati," katanya. 

Terkait hal ini, Ketua Dewan Paskar ISKI Yuliandre Darwis mengatakan jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2021 adalah 202,6 juta jiwa, jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 20 juta jiwa. Tapi, literasi digital berbanding terbalik dengan pengguna internet, Indonesia menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara dalam tingkat literasi yang paling rendah.

"Permasalahan ini makin mengkhawatirkan karena belum meratanya kesempatan untuk mengakses bahan literasi dalam negeri. Ketika kondisi ini dengan 202 juta jiwa pemuda Indonesia, apa yang bisa di lakukan, tentu konsekuensi dari 202 juta jiwa ini yang terjadi adalah media sosial menjadi saluran penyebaran hoax terbesar dan penetrasinya sebesar 92,4 persen," katanya.

Ia menyebut media sosial menjadi media penyebaran hoaks tertinggi. Bahkan hoaks sengaja dibuat untuk memengaruhi opini publik. Apalagi masyarakat juga cenderung menyukai sesuatu yang viral tanpa melihat kebenaran atau substansinya. 

"Ada 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia, itu bukan jumlah yang sedikit ini yang harus di hadapi dalam dunia transformasi digital," katanya. 

Lebih lanjut, tokoh pemuda Adhiwena Wirya Wiyudi menilai masyarakat memang perlu berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Sebab di media sosial banyak terjadi penipuan. Misalnya penipuan rekrutmen kerja hinga penipuan online shop dengan modus diskon. 

"Terus hoax atau fake news ini yang terjadi baru-baru ini karena kasus pandemi, banyak efek dan dampak yang sifatnya mental illness atau kejiwaan, seperti produksi hormon dopamin, hormon kebahagiaan, dia akan selalu membuat itu tanpa henti-henti, terus ada yang namanya FoMo Fear of Missing Out, dampak lainya itu Anxiety kecemasan, Lower Self Esteem, Adictive, harus paham bahwa dampak-dampak itu efeknya dengan diri sendiri," katanya.

Menurutnya, masyarakat perlu memfilter lagi saat melihat konten di media sosial. Apalagi saat akan menyebarkan informasi yang ada di media sosial harus dipastikan kebenarannya. 

"Ternyata banyak kasus pidana di sosial media terutama tentang UU ITE, yang paling banyak itu tentang pencemaran nama baik ini juga terjadi karena budaya literasi yang masih sangat-sangat kurang di Indonesia," katanya.

Rekomendasi