Masifnya penyebaran hoaks ini lantas membuat pemerintah Malaysia kembali menegaskan aturan hukum yang mengincar pelaku penyebaran berita bohong. Mereka yang menyebarkan hoaks di media sosial bisa didenda 50 ringgit atau sekitar Rp167 juta atau hukuman penjara tak lebih dari satu tahun atau bahkan dijatuhkan dua hukuman tersebut.
Dilansir Antara, hukum ini kembali ditegaskan oleh Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia Gobid Sing Deo yang menjawab pertanyaan anggota parlemen Puan Hajah Natrah binti Ismail, pada Rabu (30/10/2019). Puan menanyakan sikap kementerian dalam mengatasi penyebaran berita bohong di media sosial.
"Penerapan denda tersebut diatur dalam Pasal 233 Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 (ayat 588) bagi pihak yang menggunakan layanan internet dan media sosial secara tak wajar untuk menyebarkan berita palsu," ujar Gobid.
KUHP pasal 574 dan Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 (pasal 588) adalah instrumen perundangan yang dipakai di dalam mengawal desain, penerbitan, dan penyebaran konten atau berita tidak benar. Ia menuturkan, pemerintah Malaysia berkomitmen dalam usahanya untuk menjamin kebebasan bersuara bagi rakyat Malaysia berdasarkan Peraturan Nomor 10 Undang-Undang Federal.
Kendati demikian, Gobid mengaku pemerintah telah menerima banyak pengaduan dan pandangan terkait penyalahgunaan media sosial serta saran-saran untuk mengatasi masalah tersebut.
"Kebebasan untuk membicarakan masalah-masalah atau berita secara transparan dan terbuka di media sosial perlu diperlihara, tetapi harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tak menimbulkan masalah sosial atau mempengaruhi keamanan negara," ujarnya.
Menurutnya, upaya ini bukan bertujuan untuk membatasi kebebasan bersuara, tetapi untuk menjaga kesopanan dan menghindari pandangan berbaur hasutan serta sensitivitas yang bisa memberi dampak terhadap keamanan negara. Di samping itu, tindakan bisa ditindaklanjuti oleh PDRM atau Komite Komunikasi dan Multimedia (SKMM) berdasarkan pengaduan yang diterima dari masyarakat serta dari pihak yang terkait.
Malaysia bukanlah negara pertama yang menjatuhi hukuman penjara atau denda kepada para pelaku penyebaran berita bohong. Pada awal Oktober ini, Singapura resmi memberlakukan The Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act atau Undang-Undang (UU) Perlindungan dari Kepalsuan dan Manipulasi Daring.
UU ini nantinya memberi pemerintah hak prerogatif untuk menunjukkan bahwa berita yang mereka baca adalah palsu dan memiliki wewenang untuk memerintahkan perusahaan teknologi memblokir akun yang menyebarkan informasi palsu, demikian menurut surat kabar Singapura, The Straits Times.
Bagi para pelanggar akan diberikan sanksi berupa hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga 100 ribu dolar Singapura. Sedangkan, dalam kasus yang melibatkan perusahaan atau lebih dari satu individu, denda maksimum naik menjadi 1 juta dolar Singapura.
Baca Juga: Indonesia Bisa Tiru Cara Lawan Hoaks Singapura
Perang terhadap hoaks bukan hanya dilakukan oleh Singapura, namun juga di Indonesia. Kalau di Indonesia ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE). Penyebar hoaks masuk dalam kategori pelanggar terancam hukuman penjara maksimal enam tahun atau denda hingga Rp1 miliar. Namun, undang-undang ini dinilai banyak digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik karena mengandung pasal karet.
UU ITE ini seringkali digunakan masyarakat untuk mengadu dan melapor dengan alasan dan kepentingan masing-masing. Kemudahan akses informasi saat ini telah membuat pesan begitu cepat meluas di masyarakat, termasuk dalam mempermasalahkan suatu konten, pesan, atau informasi. Padahal, UU ITE tercipta sebagai upaya jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik, namun kini seakan menggerus kebebasan berekspresi.
Sementara itu, di benua Eropa hukuman bagi penyebar berita bohong juga diberlakukan. Jerman telah menjadi negara yang tegas melarang peredaran hoaks melalui media sosial. Sejak awal Januari 2018, Jerman telah mengesahkan Network Enforcement Act atau NetzDG. UU ini memuat kewajiban bagi perusahaan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Google, dan YouTube untuk menghapus beragam unggahan yang bernada menyinggung.
Dikutip CNN, UU NetzDG ini mengharuskan platform menghapus unggahan berisi ancaman kekerasan, fitnah, dan ujaran kebencian dalam waktu maksimal 24 jam usai konten atau pesan tersebut diajukan. Jika terbukti gagal, perusahaan platform media sosial harus menanggung denda 59 juta euro atau sekitar RP798 miliar.