Komnas Perempuan Usulkan Kekerasan Berbasis Gender Siber Diatur Dalam RUU PKS

| 29 Mar 2021 17:45
Komnas Perempuan Usulkan Kekerasan Berbasis Gender Siber Diatur Dalam RUU PKS
Ilustrasi dukungan untuk RUU PKS (Dok. Antara)

ERA.id - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengusulkan kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS) ikut diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebabnya, kasus-kasus KBGS belum dimasukkan ke dalam naskah akademik RUU PKS tahun 2017.

"Dalam naskah akademik RUU PKS di tahun 2017 belum ada terkait kekerasan berbasis gender, karena itu kami dorong dimasukkan dalam draf RUU ini," ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Senin (29/3/2021).

Menurut Ami, KBGS merupakan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan menggunakan  teknologi informasi dan transaksi elektronik. Termasuk tidak terbatas pada mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik.

Siti menjelaskan, isu KBGS perlu dimasukan dalam RUU PKS sebab tidak ada perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi pidana mengenai hal tersebut. Selain itu, kasus kekerasan seksual dalam setahun terakhit ini juga meningkat signifikan

"Untuk pelecehan seksual non fisik, termask KBGS ini belum ada satu pun peraturan di kita yang memuat pelecehan seksual non fisik," kata Siti.

Karena itu, Komnas Perempuan mengusulkan adanya penambahan pidana 1/3 untuk setiap tindak pidana yang disertai dengan KBGS. Lebih lanjut, Ami mengatakan, pihaknya juga mengusulkan terkait korban kekerasan seksual tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata, yang diusulkan diatur dalam Pasal 21 draf RUU PKS.

"Terkait hak korban, tidak jauh berbeda dengan RUU di tahun 2017 namun ada perubahan terkait korban (kekerasan seksual) tidak dapat dituntut pidana dan perdata," katanya.

Dia menjelaskan usulan tersebut karena salah satu alasan mengapa korban enggan melapor terhadap tindak kekerasan yang dialaminya adalah adanya ancaman pelaporan balik dari terduga tersangka tindak kekerasan. Hal itu menurut dia membuat korban mengalami "powerless" sehingga mereka banyak yang enggan melapor kepada aparat penegak hukum.

Dikutip dari naskah akademik RUU PKS yang diusulkan oleh Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), disebutkan bentuk-bentuk KBGS antara lain adalah pendekatan untuk memperdayai (cyber grooming), merekrut korban untuk perdagangan orang (cyber trafficking), pelecehan siber, peretasan, illegal content, pornografi siber.

Kemudian, ancaman distribusi foto atau video pribadi, penghinaan atau pencemaran nama baik, penggunaan teknologi untuk mengunduh dan mengedit gambar asli korban tanpa izin, pemalsuan identitas, menguntit, layanan pornografi online, penyebaran foto atau video tanpa persetujuan, dan mengirimkan gambar atau foto atau video porno ke orang lain.

"Dalam realitasnya di Indonesia kekerasa seksual berbasis online menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati. Komnas Perempuan menerima pengaduan KBGS sejumlah 104 (kasus) tahun 2018, meningkat menjadi 407 kasus di tahun 2019," tulis Komnas Perempuan dalam naskah akademik RUU PKS yang diusulkan kepada Baleg DPR RI.

Sedangkan sepanjang Januari-Mei 2020, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 354 kasus KBGS, termasuk pelecehan seksual. Beberapa korban melaporan kasus KBGS dilakukan oleh orang terdekat seperti pacar, mantan pacar, bahkan suami korban.

"Berbentuk seperti diminta mengirimkan foto atau video porno, pengambilan foto atau video tanpa persetujuan, dikirim atau diperlihatkan foto atau video porno, komentar seksis dan ancaman foto atau video porno."

Rekomendasi