ERA.id - Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menyebut, sindiran PDIP kepada Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan ungkapan kekecewaan karena kalah dua kali Pilpres. Diketahui, pada Pilpres 2004 dan 2009, Megawati kalah bersaing dengan SBY saat sama-sama maju sebagai calon presiden.
Sebelumnya, PDIP menyindir SBY bermain curang saat Pemilu 2004 lalu hingga menyebut SBY sebagai bapak bantuan sosial (Bansos) untuk mendapatkan elektoral tinggi.
"Terkait dengan upaya pendiskreditan terhadap Pak SBY yang dijuluki sebagai Bapak Bansos kami pandang sebagai ekspresi kekecewaan karena pada masa itu dua kali berturut-turut kalah dalam Pemilu berhadapan dengan Pak SBY," ujar Kamhar kepada wartawan, Sabtu (29/5/2021).
Kamhar mengatakan, semua pihak yang memahami ekonomi dan kebijakan publik pasti bisa memahami serta bisa menerima kebijakan SBY soal bansos saat menjabat sebagai presiden. Menurutnya, kebijakan SBY pada saat itu sudah sangat tepat dengan memberi program bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah krisis ekonomi pada 2008 lalu.
"Kebijakan Pak SBY pada masa itu sangat tepat dengan memberi program Bansos dan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat yang kala itu terjadi krisis ekonomi global pada 2008 dan sebagai kompensasi atas kenaikan BBM sehingga perekonomian nasional tetap terjaga dan terus tumbuh," kata Kamhar.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyinggung kisruh yang terjadi di interal Partai Demokrat perlahan-lahan membuka tabir kecurangan SBY pada saat Pilpres 2009 lalu.
Hasto mengungkapkan pada saat Pemilu 2009 lalu, dia menjadi saksi adanya kecurangan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dia juga mengetahui adanya politik bantuan sosial (bansos) yang dilakukan SBY untuk memenangkan Pemilu.
"Pada 2009 saya menjadi saksi bagaimna manipulasi DPT itu dilakukan. Bagaiamana politik bansos ala taksin itu dilakukan sehingga satu ada yang menjuluki SBY itu bapak bansos Indonesia," kata Hasto, Jumat (27/5/2021).
Adapun politik bansos yang digunakan SBY itu, kata Hasto, kemudian ditiru oleh kepala-kepala daerah untuk mendapatkan elektoral tinggi. Namun berdampak pada kerawanan fiskal.
"Seluruh kepala daerah di Indonesia berlomba-lomba mengadakan bansos sebagai bagian dari politik elektoral, tapi mengandung kerawanan dalam kestabilan fiskal di masa yang akan datang. Bagaimana politik kekuasaan juga dipakai, bagaimana politik elektoral menggunakan dana yang begitu besar sehingga kasus Bank Century dan sebagainya," kata Hasto.
Atas perbuatan curang itu, Hasto lantas menyinggung karma politik yang membuat suatu politisi ataupun partai politik sengsara ke depannya.
"Politik itu menjadikan kekuasaan harus diperoleh dengan cara benar. Kami percaya kepada nilai-nilai bangsa ini kalau kekuasaan tidak diperoleh secara benar akan membawa karma politik berupa kesengsaran lahir dan batin," kata Hasto.