Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Menkumham: Tidak Bisa Kebebasan Sebebas-Bebasnya, Namanya Anarki

| 09 Jun 2021 15:30
Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Menkumham: Tidak Bisa Kebebasan Sebebas-Bebasnya, Namanya Anarki
Yasonna Laoly (Dok. Antara)

ERA.id - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly buka suara mengenai polemik pasal penghinaan presiden yang tercantum dalam draf RUU Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurutnya, pasal tersebut masih perlu ada untuk menjaga martabat presiden hari ini hingga yang akan datang. Selain itu, sebangai bangsa Indonesia juga perlu menjaga keadaban yang dimiliki.

"Kalau kebebasan itu sebebas-bebasnya, itu bukan kebebasan, itu anarki. Saya kira kita harus ada batas-batasnya yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," kata Yasonna dalam Rapat Kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakata, Rabu (9/6/2021).

Yasonna menjelaskan, pasal tersebut bukan berarti melarang masyarakat untuk mengkritik presiden. Sebaliknya, dia mendorong agar kritikan itu ada, namun dalam konteks mengkritik kinerja. Sedangkan yang perlu dibatasi adalah ketika kritikan sudah berubah menjadi hinaan hingga menyinggung personal kepala negara.

"Kritik kebijakannya, sehebat-hebatnya kritik itu nggak apa-apa. Tapi, once you get in personal, soal yang personal yang kadang-kadang dimunculkan ya nggak bisa," kata Yasonna.

Lebih lanjut, Yasonna mengaku bahwa Presiden Joko Widodo tidak ada masalah dengan pasal tersebut. Dia mengatakan, Jokowi justru cenderung bersikap biasa-biasa saja apabila ada isu yang menyerang pribadinya dan tak mau menggunakan pasal tersebut.

Akan tetapi, bukan berarti pasal mengenai penghinaan presiden tidak penting. Sebab, produk perundang-undangan ini juga perlu ada untuk menjaga harkat dan martabat presiden selanjutnya.

"Beliau (Jokowi) mengatakan kepada saya, saya nggak ada masalah dengan pasal ini. Presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu dia tenang-tenang aja. Tapi apakah kita akan biarkan presiden yang akan datang digitukan," kata Yasonna

"Nggak boleh kita biarkan. Menghina seorang wapres apalagi wapres kita sekaranh kiyai terhormat digituin (dihina), waduh nggak benar lah," imbuhnya.

Untuk diketahui, di dalam draf terbaru RUU RKUHP muncul pasal pidana yang bakal dikenakan apabila melakukan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, hingga lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Ketentuan pidana itu tertuang dalam Bab II tentang tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Pada bagian kedua mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, disebutkan bahwa orang atau pihak yang melakukan penghinaan akan dikenakan ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 218 ayat (1) yang berbunyi:

"Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Hukuman pidana penjara naik satu tahun atau 4,5 tahun apabila penghinan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lainnya. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 219 yang berbunyi:

"Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Rekomendasi