ERA.id - DPR RI akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna yang diagendakan digelar pada Selasa (6/12) besok.
Meski begitu, draf RKUHP terbaru tertanggal 30 November 2022 masih menuai kritikan dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Sebab, masih memuat sejumlah pasal bermasalah, salah satunya terkiat dengan penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah dan lembaga negara.
Penghinaan terhadap kepala negara tercantum dalam Pasal 218 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Disebutkan bahwa orang atau pihak yang menghina presiden dan wakil presiden dapat dikenakan pidana penjara selama tiga tahun atau denda sebesar Rp200 juta.
"Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah perbuatan yang merendahkan atau
merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah," bunyi penjelasan Pasal 218 ayat (1) draf RKUHP terbaru.
Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) disebutkan bahwa, jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri, maka bukan tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat.
Pada bagian penjelaskan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui hak unjuk rasa, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden.
"Dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wakil presiden," bunyi penjelasan Pasal 218 ayat (2) draf RKUHP terbaru.
Penjelasan pada pasal tersebut mengalami sedikit perubahan. Dalam draf RKUHP versi 4 Juli 2022, pemerintah memasukan definisi kritik yaitu menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.
Sementara pada draf RKUHP terbaru versi 30 November 2022, definisi kritik tersebut dihapuskan.
Selain penghinaan terhadap kepala negara, draf RKUHP terbaru juga memuat pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Hal ini tercantum dalam Pasal 240.
Pada bagian penjelasan, dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah adalah presiden RI yang memenang kekuasaan pemerintahan negara RI yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Sementara yang dimaksud dengan lembaga negara adalah Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 240 ayat (1) draf RKUHP terbaru.
Pasal 240 ayat (1) ini diperjelas dengan penjelasan yaitu:
"Yang dimaksud dengan "menghina" adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah."
Selain itu, juga ditegaskan bahwa menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara.
"Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara.
Pada dasarnya, kritik dalam ketentuan ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat."
Pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga yang tercantum dalam draf RKUHP terbaru ini juga sudah mengalami perubahan.
Pada draf RKUHP versi 9 November 2022, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara tercantum pada Pasal 347 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Dalam pasal 347 drar RKUHP versi 9 November 2022, kekuasaan umum dan lembaga negara mencakup MPR RI/DPR RI/DPD RI, MA, MK, dan pemerintah daerah.
Delik Aduan
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menjelakan, pasal-pasal penghinaan merupakan delik aduan.
Mislanya, pada Pasal 220 ayat (1) menyebutkan bahwa, tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
"Pengaduan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden," bunyi Pasal 220 ayat (2) draf RKUHP terbaru.
Kemudian pada Pasal 240 ayat (3) dan (4) tentang penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara juga disebutkan bahwa penuntutan hanya bisa dilakukan berdasarkan aduan.
Berikut bunyai ayat (3) dan (4) Pasal 240 draf RKUHP terbaru:
Dalam ayat (3) disebutkan, tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Lalu pada ayat (4) disebutkan, aduan dalam dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.