ERA.id - Vaksin Nusantara yang dikembangkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto masih menjadi sorotan. Hingga saat ini, masih berkembang anggapan ada perbedaan perilaku pemerintah soal dukungan terhadap penelitian Vaksin Nusantara dan Vakin Merah Putih.
Sama-sama diklaim buatan anak negeri, lalu bagaimana penganggaran biaya penelitian vaksin Nusantara dan vaksin Merah Putih?
Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyebut, penelitian dan pengembangan vaksin Merah Putih yang dilakukan pihaknya dibiayai sepenuhnya oleh negara, dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) yang saat ini menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Total anggaran yang dikucurkan pemerintah hingga saat ini mencapai Rp11 miliar.
"Penelitian pengembangan vaksin Merah Putih di Lembaga Eijkman memang dibiayai sepenuhnya oleh BRIN. Saat ini cuma Rp11 miliar, dan kami mengusulkan tambahan sekitar, tapi belum cair," ujar Amin seperti dikutip dari kanal YouTube Komisi VII DPR RI Channel, Kamis (17/6/2021).
Lalu dana yang disiapkan BRIN untuk uji klinis fase I, II, dan III sekitar Rp100 miliar untuk satu jenis platform pengembangan vaksin. Secara rinci Amin menjelasan, uji klinis dilakukan terhadap 5.000 subjek dengan anggaran Rp20 juta per subjek.
"Saat ini yang disediakan oleh BRIN untuk uji klinik itu untuk satu platform sebesar Rp100 miliar. Karena kita menargetkan sementara ini hanya 5.000 subjek. 5.000 dikalikan Rp20 juta itu kan Rp100 miliar," kata Amin.
Idealnya, kata Amin, biaya untuk pengembangan vaksin berkisar di angka Rp50 miliar hingga Rp100 miliar. Sedangkan untuk uji klinis sekitar Rp400 miliar
Adapun vaksin Nusantara, menurut penuturan Terawan, selama ini dibiayai secara gotong royong dan partisipasi iuran para dokter dan peneliti, baik di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang maupun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta. Dana yang dihabiskan pun hanya sekitar Rp2 miliar.
Dia menyebut, Rp2 miliar itu paling banyak dihabiskan untuk perbaikan laboratorium agar sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practice (GMP). Sementara sisanya digunakan untuk pembelian kit vaksin Nusantara beserta antigennya yang masih diimpor dari Amerika.
"Yang besar justru memperbaiki laboratoriumnya. Kurang lebih saya habisnya sekitar Rp2 miliar untuk itu semua," kata Terawan.
Menurut Terawan, yang mahal dari pengembangan Vakin Nusantara terletak di perizinan untuk melakukan uji klinis fase III. Izin uji klinis itu, terganjal nota kesepahaman Penny K. Lukito menandatangani Nota Kesepahaman
"Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2" yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito.
Sedangkan untuk biaya uang, Terawan mengklaim mampu memenuhinya hanya dengan modal gotong royong dan iuaran dari masyarakat.
"Jadi bukan masalah biaya, kalau biaya kami percaya mampu selesaikan. Namun karena peraturan ya kami akan konsekuen," kata Terawan.
"Karena itu uji klinis III sama seperti negara-negra lain, bisa dilakukan di negara sendiri, bisa dilakukan di negara lain atau bersama-sama dengan negara lain atau sepenunhya di negara lain. Yang saya harapkan, saya berdoa bisa dilakukan di negara saya sendiri," pungkasnya.