ERA.id - Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR RI Willy Aditya menilai, keberadaan big data tidak bisa menjadi dasar untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, banyak aspek yang harus dipertimbangkan.
"Benar (penundaan Pemilu tak bisa berdasarkan big data). Banyak aspek yang kemudian menjadi pertimbangan kita," kata Willy kepada wartawan dikutip, Kamis (17/3/2022).
Willy mengatakan, boleh saja big data menjadi sebuah referensi. Namun, dalam berpolitik ada seni dan kebijaksanaan yang harus dilakukan, tidak bisa jika hanya mengikuti pada data semata.
Menurutnya, butuh konsensus untuk menyikapi keputusan penundaan pemilu. Pengambil kebijakan tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan satu aspek, terutama dari big data yang bersumber dari interaksi masyarakat di dunia maya.
"Kebenaran itu kan tidak hanya membebek kepada suatu pembicaran yang banyak, dan itu menjadi sebuah kebenaran," kata Willy.
"Kita harus melihat siapa, kita harus mengatakan harus dikombinasikan antara profesionalisme dengan integritas dan moralitas," imbuhnya.
Penundaan pemilu, menurut Willy, berdampak besar terhadap kenegaraan, seperti perubahan masa jabatan presiden yang sudah dibatasi konstitusi. Oleh karenanya, perlu ada dialog mendalam membahas wacana tersebut.
"Ini bukan lagi masalah kalah menang, bukan masalah banyak-banyakan lagi, tapi negara ini mau diarahkan kemana, karena semua dibutuhkan dialog dan konsensus bersama," kata Willy.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim berdasarkan big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024.
Dia juga mengklaim mereka yang mendukung merupakan pemilih dari Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP sementara ketiga partai tersebut tegas menolak wacana penundaan pemilu.
Selain big data, Luhut juga menyinggung besaran anggaran pemilu senilai Rp110 miliar. Menurutnya, banyak rakyat yang tak mau jika uang tersebut dipakai untuk menyelenggarakan pemilu serentak.
"Nah, itu yang rakyat ngomong. Nah, ini kan ceruk ini atau orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, ada yang di PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar," kata Luhut, Jumat (11/3).