ERA.id - Pemerintah melakukan reformulasi pada sejumlah pasal terkait isu kesusilaan dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Reformulasi dilakukan supaya tidak menimbulkan perdebatan tanpa menghilangkan substansi dari pasal tersebut.
Hal ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy saat memaparkan hasil sosialisasi RKUHP dalam rapat dengar pendapat (RPD) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/5/2022).
"Secara garis besar terhadap isu-isu yang kontroversial ada beberapa hal. Yang pertama memang ada yang kami hapus, lalu ada yang tetap, tapi ada juga yang reformulasi namun tidak menghilangkan substansi. Kita melakukan penghalusan terhadap bahasa yang ada," kata Eddy.
Berikut sejumlah pasal terkait isu kesusilaan yang direformulasi setelah sosialisasi RKUHP dilakukan:
1. Pasal 414-416 terkait alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan
Dalam draf sebelumnya, pada Pasal 414 mengatur pidana bagi orang yang dengan sengaja memperlihatkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya kepada anak-anak. Apabila dilanggar maka akan dikenakan denda kategori I senilai Rp1 juta.
Eddy menjelaskan, pasal ini tidak ditujukan bagi orang dewasa. Melainkan anak-anak dengan tujuan pencegahan seks bebas.
"Jadi ketentuan Pasal 414 tidak ditujukan kepada orang dewasa, melainkan untuk memberi perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas," kata Eddy.
Selain itu, dalam pasal tersebut juga dilakukan pengecualian apabila alat kontrasepsi yang ditunjukan untuk sosialisasi program keluarga berencana (KB).
"Pengecualian pasal ini jika dilakukan untuk program KB, maka ini tidak dapat dipinda," ujar Eddy.
Selain KB, penunjukan alat kontrasepsi juga tidak dapat dipidana asalkan untuk tujuan pendidikan. Begitu juga dengan relawan yang kompeten dan ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Ketentuan ini masih sama seperti Pasal 416 draf RKUHP sebelumnya.
2. Pasal 417 tentang Perzinaan
Pemerintah merumuskan tindakan perzinaan sebagai delik aduan. Adapun yang bisa mengadukan perzinaan adalah suami, istri, orang tua, atau anak.
"Dia dirumuskan sebagai delik aduan sebagaimana yang ada sekarang ini. Hanya saja ditambahkan yang boleh mengadu itu tidak hanya suami atau istri sebagaimana yang eksisting, tetapi juga orang tua atau anak," papar Eddy.
Dijelaskan pula bahwa perzinaan merupakan kejahatan tanpa korban atau victimless crime yang secara individu tidak langsung melanggar hak orang lain, tetapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat.
Eddy menekankan bahwa tidak ada satupun agama yang ada di Indonesia yang memperbolehkan perzinaan.
"Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan," kata Eddy.
3. Pasal 418 tentang kohabitasi atau kumpul kebo
Sama seperti perzinaan, pasal mengenai kohabitasi ini bersifat delik aduan.
Namun, pemerintah menghilangkan kewenangan kepala desa atau sebutan lainnya untuk melakukan perbuatan kumpul kebo.
Perbuatan kumpul kebo hanya bisa diadukan oleh suami, istri, orang tua, atau anak saja.
"Pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan," kata Eddy.
Dalam draft RKUHP sebelumnya, pemerintah memberi kewenangan kepala desa untuk mengadukan perbuatan kumpul kebo sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anak.
Menurut Eddy, kewenangan ini dihapuskan sebab jika kepala desa ikut melaporkan atau mengadukan maka delik yang ada bukan lagi delik aduan.
"Karena kalau kepala desa bisa mengadu, berarti dia sudah bukan lagi delik aduan," kata Eddy.