ERA.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali jadi sorotan. Sejumlah pasal dinilai masih bermasalah meski diklaim pemerintah dan DPR RI sudah dibereskan.
Adapun pasal yang banyak menuai kritik antara lain yaitu pasal penghinaan presiden dan pasal penghinaan terhadap pemerintah. Kedua pasal itu dinilai sebagai bentuk pemerintah yang antikritik. Namun, dua pasal tersebut dipastikan tidak akan dihapus, meskipun menuai banyak protes.
Terkait dengan pasal penghinaan presiden, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto menilai tidak ada yang salah dengan pasal tersebut. Menurutnya, seorang kepala negara juga memiliki hak yang sama untuk mengajukan tuntutan apabila merasa terhina.
"Kalau kau merasa diri dikau hinaan ini tidak pantas untuk diterima, maka boleh dong menuntut. Presiden ini juga seperti itu, beliau kan juga manusia, siapapun presidennya kan manusia," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/6/2022).
"Kalau dihina kemudian beliau tidak terima, boleh enggak menuntut? Ya boleh," imbuhnya.
Untuk diketahui, penghinaan terhadap presiden tercantum dalam Pasal 218 draf RKUHP versi tahun 2019 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Pasal ini termasuk salah satu dari 14 isu krusial yang direformulasi lagi oleh pemerintah.
Hasilnya, pasal tersebut ditambahkan penjelasan terkait delik aduan. Artinya, hanya presiden maupun wakil presiden secara pribadi yang bisa melaporkan orang atau pihak yang dirasa telah menghina diri mereka.
Oleh karena itu, Bambang memandang bahwa RKUHP, khususnya terkait pasal penghinaan presiden sudah disempurnakan dan memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat.
"Jadi kalau menghina intinya, siapa pun yang dihina sebagai HAM boleh menuntut balik penghinaanya," kata Bambang.
Sementara Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy membantah jika pemerintah antikritik dengan tetap dipertahannya pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah.
Dia menyebut, anggapan itu sebagai 'sesat pikir' sebab tidak bisa membedakan antara penghinaan dan kritik.
"Tidak (pemerintah tidak antikritik). Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan," kata Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6).
Eddy menjelaskan, dalam pasal tersebut jelas ditegaskan bahwa yang dilarang adalah penghinaan, bukan kritikan. Artinya, jika ada yang menyampaikan kritikan, maka tidak boleh dipidana.
"Jadi yang mengatakan penghinaan sama dengan kritik itu mereka yang sesat pikit, yang tidak membaca," tegas Eddy.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan bahwa pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah juga tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menjelaskan, pasal tersebut sebelumnya pernah diujikan di MK pada 2006 lalu. Namun, ditolak oleh MK. Saat itu MK hanya memerintahkan agar mengubah delik menjadi delik aduan.
"Pasal itu diuji dan ditolak MK. Kalau ditolak, itu artinya bertentangan atau tidak? Kan berarti tidak bertentangan," kata Eddy.
Meski begitu, Eddy mempersilahkan jika ada pihak yang ingin mengajukan gugatan uji materi ke MK apabila RKUHP sudah disahkan.
Hanya saja dia tak yakin gugatan itu akan diterima. Sebab, sebelumnya pun pernah diuji dan ditolak MK.
"Intinya begini ya, tidak mungkin memuaskan semua pihak. Jadi kalay tidak setuju, ya pintu MK kan terbuka... kalau saya tantang, yang tidak setuju dibawa ke MK enggak berani, karena pasti ditolak," pungkasnya.
Terkait dengan alasan lain mengapa pasal penghinaan pemerintah tak dihapus dari RKUHP, karena tidak termasuk dalam 14 isu krusial yang sebelumnya sudah disosialisasikan kepada masyarakat.
Untuk diketahui, pasal penghinaan terhadap pemerintah masih tercantum dalam draf RUKHP versi 2019.
"Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi Pasal 240 RKUHP versi draf 2019.
Sementara terkait delik aduan itu, Eddy merujuk pasal 319 KUHP tahun 1946.
"Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316."