ERA.id - Bagi Eduardo Galeano, salah satu jenis manusia paling tak masuk akal adalah suporter bola. Mereka menganggap pertandingan bola adalah pertarungan antara malaikat dan setan. Sementara mereka akan menyaksikannya secara langsung apa pun yang terjadi. Saya agaknya sependapat setelah melihat gambar seorang suporter berdiri di tribun sambil menggendong bayi.
Baru setahun lalu saya membaca berita bayi enam bulan meninggal setelah dibonceng orang tuanya naik motor dari Tegal ke Surabaya selama 13 jam. Sang anak batuk-batuk berdahak sepanjang jalan, enggan menyusu, dan dinyatakan tewas di rumah sakit. Semua demi nonton Persebaya, tim bola kesayangan orang tuanya bertanding di kandang.
Lalu, waktu Tragedi Kanjuruhan kemarin yang menewaskan setidaknya 135 orang, ada beberapa korban yang masih anak-anak–termasuk balita. Ironisnya, ketika stadion bukan lagi tempat yang ramah anak dan aman, sesekali masih kita temukan orang tua yang membawa bayi-bayi mereka menonton pertandingan di sana.
Mencintai klub bola tertentu jelas bukan dosa. Tak ada juga larangan menonton pertandingan secara langsung; menyemangati pemain tim kesayangan; dan meneriaki wasit dari tribun–selama punya uang untuk beli karcis. Namun, ketika kita punya anak dan ada pilihan menonton dari rumah, memilih ziarah ke stadion sambil menggendong bayi kita yang ringkih adalah keegoisan.
“Jangan bawa anak langsung nonton bola di stadion, jika usia anak masih di bawah lima tahun, apalagi bayi,” ujar dokter spesialis anak Satria Denta di medsosnya. “Suara riuhnya pertandingan langsung bisa merusak pendengaran bayi.”
Keegoisan orang tua bukan hanya terwujud di stadion-stadion, tapi berbagai tempat lain yang belum waktunya dijamah anak-anak seperti bioskop, panggung-panggung konser, hingga gunung.
Dengan alasan yang sama mengapa anak-anak balita sebaiknya tak dibawa ke stadion, itu juga berlaku buat konser musik dan studio bioskop yang memasang volume speaker keras-keras. Selain itu, ada alasan mengapa semua film punya rating berdasarkan usia. Sayangnya, beberapa orang tua masih mengabaikannya dan membuat anak-anak menonton film yang tak sesuai usia mereka.
Ditambah lagi, bioskop-bioskop kita masih longgar soal regulasi penontonnya. Selama tiket laku terjual, mereka tak peduli siapa yang menonton film di dalam. Ini agak lucu mengingat betapa peraturan di bioskop sangat ketat kalau masalah membawa makanan dan minuman dari luar.
Ada juga orang tua metropolitan yang mencoba win-win solution dengan meninggalkan anak mereka di rumah, sementara keduanya asyik kencan di bioskop dan bebas menonton apa saja. Mereka berdalih memasang cctv dalam rumah yang bisa dipantau 24 jam dari hp, lalu menitipkan kunci rumah ke tetangga.
Saya pribadi yang masih suka was-was waktu meninggalkan anak ke kamar mandi tak pernah kepikiran dengan cara di atas. Bagaimana kalau tetangga saya berpikiran jahat? Atau tiba-tiba ada maling masuk? Atau gas di rumah bocor? Atau mati lampu? Atau anak saya kejang-kejang dan sesak napas?
Daripada bertaruh meninggalkan anak sendirian di rumah dan memasrahkannya kepada mesin, saya lebih memilih menitipkan anak saya ke kerabat atau membayar orang terpercaya untuk menjaganya kalau mau nonton bioskop berdua. Pilihan lain yang lebih aman lagi ya gantian menonton dengan istri. Atau tidak usah menonton sama sekali, tunggu saja tayang di Netflix.
Bagi saya, pilihan-pilihan tadi lebih bertanggung jawab dan tidak sembrono. Lagian, ketika seseorang memutuskan punya anak dan menjadi orang tua, seharusnya ia juga sudah siap merelakan kepentingan-kepentingan pribadi seperti hobi dan hubungan sosial. Kalau kata Agus Mulyadi, "Rasa bahagia bisa momong anak itu satu paket dengan keikhlasan mengorbankan banyak kepentingan."
Kita juga harusnya punya skala prioritas yang jelas dan terukur dalam hidup. Dan sebagai orang tua, apa sih yang harus diprioritaskan di atas anak? Ketika kita lebih memilih nonton bola, pergi ke bioskop, menikmati konser musik, atau healing ke gunung-gunung, sedangkan anak masih belajar cebok yang benar dan kosa katanya masih terbatas, bukankah kita sedang menempatkan kepentingan mereka di bawah hobi dan kesenangan kita waktu zaman lajang dulu?
Dulu saya merasa teman-teman yang sudah menikah apalagi punya anak semakin menjauh dan jarang berinteraksi, nongkrong pun hanya sesekali dan sebentar. Ada mantan teman sekantor saya hanya mau diajak nongkrong di rumahnya. Dulu saya pikir itu agak egois karena saya dan teman-teman yang harus menghampiri tempatnya. Setelah jadi orang tua, saya malah merasa begitulah sewajarnya kehidupan berjalan. Kini, tiap ada yang ngajak nongkrong, gantian saya bilang, "Kalau mau ke rumah aja."
Misalnya kita tidak nonton bioskop selama tiga tahun, atau menahan diri pergi ke stadion dan tidak naik gunung sementara waktu, apa sih kemungkinan terburuk yang bisa terjadi? Apakah nyawa kita bakal terancam? Menjadi dewasa kita belajar berkompromi, sementara menjadi orang tua kita belajar bahwa ada beberapa hal menyangkut kepentingan anak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.