Jangan Beri Panggung untuk Kebodohan

| 01 Nov 2018 17:51
Jangan Beri Panggung untuk Kebodohan
Ilustrasi (Mahesa/era.id)
Jakarta, era.id - Dunia maya Indonesia kehilangan Coki Pardede dan Tretan Muslim. Keduanya telah menyatakan mundur dari seluruh layar YouTube. Duo YouTuber ini juga menyatakan mundur dari dunia stand-up comedy. Syukurlah. Bukan, bukan rasa syukur atas mundurnya Coki dan Tretan yang kami amini, tapi sebuah ungkapan bijaksana pernah menyerukan: jangan berikan panggung untuk orang bodoh. Kami yang lebih bijaksana dari sang bijaksana akan sedikit menyulihnya menjadi: jangan berikan panggung pada kebodohan.

Kami sengaja menyulih ungkapan sang bijaksana, sebab kami percaya enggak ada orang bodoh di dunia ini. Yang ada, cuma kebodohan. Termasuk Tretan dan Coki. Jelas, keduanya bukan orang bodoh. Dan apa yang keduanya lakukan bersama daging babi dan sari kurma cair jelas adalah sebuah bentuk komedi penuh pesan yang disampaikan lewat gaya intelektual tingkat dewa, yang bahkan begitu sulit untuk ditertawakan. Maklum, sejak dulu, segala yang berada pada frekuensi intelektual tinggi selalu sulit dipahami.

Hampir saja kami percaya bahwa yang disampaikan keduanya adalah gaya komedi kaum intelektual tingkat tinggi, hingga Tretan memberi klarifikasi, bahwa dia telah kebablasan dalam guyonannya. Dan bablas cangkem puluhan menit yang ia pertontonkan pada ribuan orang itu nyatanya adalah sebuah bentuk kebodohan, bahwa ia enggak memiliki cukup ilmu dan pengetahuan soal ajaran agama Islam. Lagi-lagi, Tretan yang berintelektual tinggi mengingatkan kami pada sang bijak. Sebab, pernah terdengar dari sang bijak mengutip sebuah pesan: Janganlah kamu bersikap terhadap sesuatu yang kamu tidak ketahui.

"Sebagai manusia, saya akui, saya bisa salah, bisa khilaf, bisa juga kebablasan. Dan kalau saya bisa kebablasan, itu terjadi karena ketidaktahuan saya dan kurangnya ilmu saya. Dan (konten YouTube-nya) tidak pernah ditujukan untuk sengaja menyinggung sesuatu ataupun orang tertentu," kata Tretan.

Kontroversi soal Coki dan Tretan dipicu oleh sebuah konten video 'masak-masakan' yang diunggah di channel YouTube pribadi Tretan. Dalam tayangan yang diberi label Last Hope Kitchen itu, Coki dan Tretan menayangkan adegan memasak daging babi dengan campuran sari kurma cair. Idenya sih, lewat tayangan itu Coki dan Tretan ingin kasih pesan persatuan antara unsur halal dan haram yang sejatinya berlawanan. Sungguh, sebuah cerminan kecerdasan yang sangat sulit dipahami kepala-kepala ber-IQ jelata macam kami.

Entahlah, tapi Coki dan Tretan yang bukan orang bodoh itu rasanya tahu, ide mencampur unsur halal dan haram dalam satu menu masakan bukanlah ide yang bagus. Buktinya, tengok saja video Coki dan Tretan ketika membahas YouTuber lain, Reza Arap yang menghibahkan channel YouTube-nya untuk sebuah yayasan kanker, Anyo Indonesia. Dalam video itu, Tretan mengoceh soal bagaimana jadinya jika video-video lama Arap yang berisi banyak umpatan bercampur dengan video-video yang diperuntukkan bagi yayasan Anyo Indonesia.

"Untungnya, video lama Arap yang isinya main game mengumpat-umpat itu sudah dihapus, Cok. Karena kalau enggak dihapus kan gimana, ya. Channel-nya Rumah Anyo, tapi isinya video ngomong-ngomong bangsat. Kan kita kalau nonton video Rumah Anyo dapat pahala (karena menyumbang anak kanker), di sisi lain kita nontonin video Arap yang ngomong-ngomong bangsat (kalau belum dihapus)," kata Tretan mulai menit 6:30.

"Ini apa hukumnya, dalam semua agama, apa hukumnya halal dan haram diadukkan. Apa bila menggabungkan halal dan haram dalam satu urusan, ini jadinya syubhat," tambahnya.

 

Tretan jelas tahu apa arti kata syubhat, bahwa mencampur adukkan sesuatu yang halal dan haram adalah sebuah hal yang bersifat buruk karena akan memunculkan kebingungan. Artinya, Tretan seharusnya tahu bahwa ide mencampur daging babi dan sari kurma cair yang ia sebut sebagai unsur haram dan halal adalah ide yang buruk. Bahkan sangat buruk hingga memancing kemarahan begitu banyak orang yang tersinggung dengan konten yang mereka buat. Makanya, narasi bahwa Coki dan Tretan bukan orang bodoh sebagaimana kami tuturkan sejak awal jelas terbukti. Coki dan Tretan jelas bukan orang bodoh. Tapi, soal kebodohan, itu jelas lain lagi.

Berdampak luas

Jika ini semua adalah perkara bisnis, maafkan kami jika kepala kami terlalu naif dan bebal, kepala-kepala yang enggak paham betul bagaimana laju bisnis digital berputar di platform YouTube. Dan beri juga kami pencerahan, bagaimana kontroversi ini bisa begitu berdampak baik. Sebab, yang kami tahu, begitu besar gelombang yang menolak Coki dan Tretan.

Dan berkat praktik toleransi yang Coki dan Tretan 'dakwahkan', keduanya sukses membuat laju bisnis yang baru saja dimulai MLI lebih teruji. Ananta Rispo, stand-up comedian yang juga talent MLI --seperti Coki dan Tretan-- harus menerima tur besar ke sejumlah kota yang telah ia persiapkan dengan matang batal lantaran besarnya resistensi di sejumlah kota terhadap MLI pascakontroversi Tretan dan Coki. Kepada kami, Rispo bercerita lewat barisan teks yang menggambarkan kekecewaannya. 

"Yang jelas. saya sedih mas. Ini tur saya siapkan matang sekali. Bahkan, ada gladiresik segala sebelum start yang harusnya (tanggal) 2 November di Jogja. Yang sebelumnya setiap mau perform saya enggak pernah ada gladiresik segala. Cuma karena ini digarap dengan serius, makanya saya rasa perlu persiapan yang juga serius. Tapi, yang terjadi adalah kena imbas dari Coki dan Muslim, padahal tur saya sama sekali enggak ada sangkut pautnya sama Coki-Muslim. Kita sama-sama di MLI, tapi yang salah dari kasus Coki-Muslim bukan MLI-nya. Apalagi. talent-talent lain ikut diserang, seperti saya contohnya. Ya, sangat disayangkan sekali sih :(," imbuh Rispo, persis dengan emote dua titik dan kurung buka.

Meski begitu, Rispo bilang kepada kami, bahwa kasus ini enggak berdampak sebegitu parah untuk MLI. Namun, kontroversi konten Coki dan Tretan jelas mengganggu berbagai program yang telah dijalankan MLI. Dan yang jelas, kegaduhan yang ditimbulkan Coki dan Tretan lewat komedi intelektual tingginya itu amat merugikan dan mengganggu hubungan kerja MLI dengan banyak pihak.

"Parah sih enggak terlalu menurut saya. Lebih ke mengganggu program yang sudah berjalan saja. Dan memang itu merugikan, menambah pekerjaan, dan membuat hubungan kerja dengan banyak pihak jadi terganggu," tuturnya.

Namun, Rispo menegaskan, MLI percaya apa yang dilakukan Coki dan Tretan adalah hal yang dilandasi oleh niat baik, niat untuk mebumikan kembali toleransi. Makanya, MLI juga menyatakan akan melanjutkan estafet perjuangan Coki dan Tretan. Buat MLI, Indonesia kini tengah mengalami krisis toleransi, dan peran semua orang untuk memelihara toleransi adalah hal yang harus segera dilakukan.

Sebagai makhluk yang menjunjung tinggi pemikiran positif, kami berusaha keras untuk meyakini itu. Tapi, sayang, kami yang ber-IQ jongkok tetap enggak bisa menangkap maksud toleransi yang disampaikan MLI, Rispo, apalagi Coki dan Tretan. Barangkali, memang kami yang salah, sebab kata toleransi yang terakhir kami dengar keluar dari mulut guru PPKN kami semasa di sekolah dasar, guru yang berkata pada kami bahwa toleransi adalah sikap menghargai sesama untuk menciptakan kehidupan selaras di tengah perbedaan.

Gagal paham

Nah, barangkali kami yang ketinggalan zaman, barangkali teori soal toleransi sudah berubah menjadi: tertawakan saja prinsip dan tuntunan hidup siapapun, selama kamu adalah bagian dari golongan itu. Ya, jika perkembangan teori soal toleransi memang sudah sampai titik itu, kayaknya kami lebih memilih ketinggalan dan menganut prinsip toleransi yang penuh diam, toleransi yang saling mendoakan, bukan saling menertawakan.

Dan jika selera humor kami kurang asyik, maafkanlah kami. Maafkan kami yang enggak memiliki selera humor dan intelektual setinggi Tretan, Coki, ataupun sederet penikmat konten mereka. Kami sadar betul, humor adalah selera. Jadi, maafkan kami jika Bing Slamet, Benyamin Sueb, Warkop DKI, Jojon, Haji Bolot, ataupun Komeng tetap jadi humor paling asyik buat kami.

Kami tahu, bagaimana humor berkembang hingga hari ini. Termasuk ketika tingkah Coki dan Tretan disebut sebagai dark comedy, sebuah sub-genre komedi yang menghalalkan penganutnya mengangkat isu-isu sensitif seperti agama, ras, dan hal-hal sensitif lain, selama itu dianggap, atau seenggaknya mereka anggap sebagai hal yang relevan dengan realitas sosial. Tapi, mencampur babi dan sari kurma cair? Pemain dark comedy yang dikenal paling 'brengsek' macam Bill Maher pun rasanya akan kesulitan menangkap pesan yang coba disampaikan Coki dan Tretan.

Lagipula, bukankah komedi adalah barang yang wajib disesuaikan dengan kultur budaya sebuah tempat? Maaf, jika kami otak kami terlambat berevolusi. Tapi, sebuah buku berjudul Good Humor, Bad Taste: The Sociology of Jokes yang ditulis Giselinde Kupiers mengajarkan kami bahwa humor adalah bagian dari budaya. Makanya, letak humor seharusnya tetap disesuaikan dengan kultur dan budaya sebuah tempat.

Dan soal selera, hal itu enggak pernah jadi sesuatu yang kebetulan. Sosiolog Pierre Bourdieu pernah memperkuat pakem ini. Dia bilang, selera estetis sejatinya adalah refleksi dari konstruksi sosial di dalam ruang sejarah yang konkret. Artinya, seharusnya enggak ada tuh penghakiman terhadap kami-kami yang memang enggak bisa memahami letak kelucuan dari tayangan memasak babi dengan rebusan sari kurma cair.

Singkatnya, sebagai sebuah bentuk budaya, komedi seharusnya bisa diterima oleh seluas-luasnya tanpa ada resistensi. Dan jika ia adalah kesenian, komedi seharusnya bisa dinikmati oleh siapapun.

Maka, andai tayangan memasak babi dengan sari kurma cair adalah komedi belaka, kami lebih percaya pada nilai sebuah komedi yang seharusnya enggak akan menyakiti siapapun. Lagipula, apa kabarnya Charlie Chaplin, pengundang tawa yang lebih bengis dari para dewa, yang dengan kebijaksanaannya memberi sebuah petuah berkomedi yang amat bermakna kepada para penerusnya, bahwa: "My pain may be the reason for somebody's laugh. But my laugh must never be the reason for somebody's pain.”

Rekomendasi