ERA.id - Sejarawan Asvi Warman Adam mengungkapkan, Soeharto banyak bersiasat demi mempertahankan posisi sebagai Presiden RI dengan periode panjang, setelah melakukan kudeta merangkak terhadap Soekarno.
Hal itu disampaikan Asvi dalam acara Bedah Buku: NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971 karya Ken Ward di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa kemarin.
Awalnya, Asvi menjadi sejarawan yang percaya Soeharto melakukan kudeta merangkak terhadap Soekarno dari peristiwa 1 Oktober 1965 sampai didapuk menjadi pemimpin Indonesia pada 1968.
"Jadi, saya melihat periode 1 Oktober '65, 11 Maret '66, sampai '67, Soeharto menjadi pejabat presiden, dan '68 menjadi presiden penuh, ini suatu rangkaian peristiwa yang kalau kita lihat suatu kudeta merangkak," kata Asvi dalam diskusi.
Dia mengatakan, Soeharto setelah menjabat Presiden kedua RI banyak bermanuver untuk melanggengkan kekuasaan, semisal memundurkan pelaksanaan pemilu yang sudah ditetapkan MPR pada 1968 demi memungkinkan pria berjuluk Smiling General itu mematangkan konsolidasi politik.
"Nah, yang dilakukan Soeharto itu memundurkan pemilu itu karena tidak cukup waktu melaksanakannya. Maka pemilu itu diadakan '71, jadi cukup waktu tiga tahun itu, waktu yang intensif digunakan oleh Soeharto untuk memenangkan, bukan hanya memenangkan, membuat infrastruktur kekuasaan sampai pada '71 itu," ujarnya.
Selain mematangkan konsolidasi, sambung Asvi, Soeharto juga menyingkirkan lawan ketika pemilu dimundurkan dari 1968 ke 1971.
"Ini berkaitan menyingkirkan orang-orang yang dianggap bahaya meskipun mereka sudah dipenjara, itu ke suatu tempat terpisah dari masyarakat," jelas pria kelahiran Sumatera Barat itu.
Asvi mengatakan pemerintahan era Soeharto juga melakukan intervensi politik ke Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno.
Rezim Soeharto awalnya menyingkirkan Hardi Subeno yang dianggap berbahaya bagi rezim apabila mantan Dubes RI untuk Vietnam itu menjadi pimpinan PNI.
Rezim Soeharto, kata dia, mendorong Hadi Subeno menjadi Ketua PNI meskipun kalkulasi terhadap aksi politik tersebut keliru.
Sebab, Hadi yang pernah menjabat Gubernur Jawa Tengah, belakangan kritis ke Golkar dan pemerintah setelah menjadi Ketua PNI pada 1971.
"Nah, karena itulah pada 20 April 71 tiba-tiba Hadi Subeno meninggal, tiga bulan sebelum pemilu pada '71. Jadi, ini cerita bagaimana bisa itu terjadi pembunuhan seperti itu dan kita tahu pembunuhan itu bukan hanya ke aktivis, tetapi menyebabkan di antara jenderal berkonflik, kita tahu Ali Moertopo pada '74 berkonflik dengan Soemitro yang melahirkan peristiwa Malari," pungkasnya.