ERA.id - Berstatus sebagai tuan rumah Euro 2024, Jerman harus mengakui ketangguhan Spanyol. Der Panzer ditekuk 1-2 dan mesti tersingkir di babak perempat final Euro 2024 di Mercedes-Benz Arena, Stuttgart, Jumat (5/7) silam.
Kekalahan tersebut begitu pelik, pasalnya publik Jerman telah berpuasa gelar Piala Eropa selama 28 tahun atau terakhir kali mengangkat trofi pada tahun 1996 di era Jurgen Klinsmann dan kawan-kawan.
Ambisi untuk menasbihkan diri sebagai "raja benua Eropa" pun pupus di tangan La Roja, yang kini sama-sama mempunyai gelar tiga kali Piala Eropa dan menjadi dua negara dengan koleksi trofi Piala Eropa terbanyak.
Kekalahan atas La Furia Roja juga kian menjadi pukulan untuk tim Panser yang hanya mampu meraih satu kemenangan dalam lima pertemuan terakhir, tepatnya pada tahun 2014 lalu dalam pertandingan uji coba.
Terakhir kali Jerman mampu menundukkan Spanyol di kompetisi resmi terjadi di Piala Eropa 1988 berkat dwigol dari Rudi Voller yang mengantarkan tim Panser menang 2-0.
Sejarah manis itu akan sulit terulang jika Jerman kini tetap berpacu di lintasan yang sama untuk bersaing menghadapi Spanyol maupun negara-negara unggulan Eropa lainnya seperti Perancis, Inggris, hingga Portugal, dan Belanda.
Pasalnya kini Jerman membawa skuad uzur, dengan komposisi skuad yang mempunyai rata-rata umur 28,58 tahun. Skuad tim Panser masih dihuni oleh pemain-pemain yang berkiprah membawa mereka meraih gelar Piala Dunia 2014 seperti Manuel Neuer, Toni Kroos, dan Thomas Mueller.
Meski nama-nama seperti Toni Kroos dan Thomas Mueller telah memastikan bahwa ajang Piala Eropa 2024 merupakan karir terakhir mereka saat berseragam timnas Jerman, namun hambatan terjadi dalam proses regenerasi yang terlampau telat dibanding pesaing-pesaingnya.
Strategi pressing tinggi
Gaya permainan sepak bola Jerman sedikit bergeser dari menerapkan possesion football kini bermain dengan skema dan strategi high pressing atau counter-pressing yang menekankan para pemain untuk melakukan pressing mulai dari lini depan permainan.
Strategi tersebut lebih tenar dengan sebutan gegenpressing yang diterapkan oleh pelatih asal Jerman, Juergen Klopp bersama dengan Liverpool maupun timnya sebelumnya Borussia Dortmund maupun Mainz.
Sebenarnya strategi ini tak bisa dilepaskan dengan pelatih timnas Austria, Ralf Ragnick yang menjadi "mahaguru" dari Juergen Klopp dan Julian Nagelsmann.
Strategi ini merupakan reaksi yang memberikan tekanan kepada lawan saat dalam situasi perebutan bola dengan menutup setiap ruang umpan lawan.
Semua pemain dalam strategi pressing ini dituntut untuk bergerak menutup ruang saat dalam posisi bertahan dan melakukan pergerakan yang lebih dinamis untuk mengeksploitasi ruang saat dalam posisi menyerang.
Di ajang Piala Eropa 2024, Nagelsmann condong menerapkan skema formasi 4-2-3-1 yang bisa berganti 3-4-3 saat dalam proses transisi.
Hasil strategi counter-pressing ini tak begitu mengecewakan dengan tim Panser mencatatkan rerata 2,21 gol per pertandingan, melepaskan 94 tembakan di seluruh pertandingan, 91 persen akurasi umpan bola per pertandingan dan rerata penguasaan bola 59 persen.
Jerman tampil lebih fleksibel dan dinamis meski masih kerap kecolongan ketika menghadapi negara-negara dengan skema serangan balik cepat seperti Denmark. Kendala kedua dari strategi Nagelsmann yakni para pemain yang tidak bisa lama memainkan tempo yang diinginkannya dalam strategi pressing ini.
Faktor usia dan stamina menjadi kunci dari penerapan strategi Nagelsmann di tim yang menuntut setiap pemain mempunyai daya jelajah tinggi. Faktor tersebut terasa ketika Die Mannschaft sudah kehilangan daya saat menghadapi Spanyol dan pertandingan memasuki perpanjangan waktu.
Kendala tersebut juga sepertinya dipahami Nagelsmann yang tak mempunyai banyak pilihan dengan kedalaman skuad yang tak begitu klop dengan strateginya.
Kekalahan atas Spanyol juga menjadi pukulan untuk mantan pelatih Bayern Muenchen tersebut agar segera melakukan proses regenerasi tim, yang setidaknya dengan skuad muda mampu bermain lebih dengan gaya pressing tinggi-nya.
"Kami memiliki skuad yang tidak terlalu muda. Kami pasti akan mengubah beberapa hal," kata Julian Nagelsmann dikutip dari AFP, Sabtu kemarin.
"Kami akan melakukan sesuatu dengan skuad untuk memberikan beberapa pertandingan bagus dan mengumpulkan tim terbaik untuk kualifikasi Piala Dunia 2026," imbuh mantan pelatih RB Leipzig tersebut.
Pekerjaan besar Nagelsmann
Kehadiran duet pemain bertipe nomor sepuluh yakni Jamal Musiala dan Florian Wirtz menjadi angin segar khususnya bagi suporter timnas Jerman yang menderita "mimpi buruk" usai hasil yang diraih Die Mannschaft sejak juara Piala Dunia 2014 tak begitu mentereng dengan gagal dua kali lolos dari babak grup Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022.
Di Piala Eropa kali ini, Musiala dan Wirtz menjadi tumpuan tim dengan kontribusi yang begitu menjanjikan. Musiala tercatat sebagai top skor Jerman dengan torehan tiga gol sedangkan Wirtz punya koleksi dua gol.
Dengan usia Musiala dan Wirtz yang baru menginjak 21 tahun, tentu mereka berdua akan menjadi pondasi utama Nagelsmann hingga beberapa tahun ke depan terutama untuk menatap Piala Dunia 2026.
Dalam beberapa tahun ke depan, Nagelsmann tentu akan merombak tim usai Kroos dan Mueller yang menyatakan pensiun. Kini di skuad Panzer, ada Neuer (38 tahun) dan Ilkay Gundogan (33 tahun) yang masih mempertimbangkan untuk pensiun dari timnas seusai tersingkirnya Jerman dari Piala Eropa 2024.
Dengan kurun waktu dua tahun untuk persiapan, bukan tidak mungkin Nagelsmann akan melakukan pekerjaan besar dengan mengorbitkan sejumlah pemain muda potensial seperti Aleksandar Pavlovic (Bayern Muenchen), Malick Thiaw (AC Milan), Alexander Nubel (VfB Stuttgart), Karim Adeyemi (Borussia Dortmund) ataupun Josha Vagnoman (VfB Stuttgart).
"Apa lagi yang harus saya katakan setelah kami tersingkir dari Piala Eropa? Tentu saja, kami ingin menjadi juara dunia," ujar Nagelsmann.
Kekalahan pil pahit ini akan terus berlanjut jika Nagelsmann tak segera merestrukturisasi skuad uzur Jerman untuk menatap Kualifikasi Piala Dunia 2026 hingga nanti mampu bersaing di Piala Dunia 2026.