Teror Stalker yang Mengaku Sakit Jiwa, Bisakah Dipidanakan?

| 13 Apr 2023 21:05
Teror Stalker yang Mengaku Sakit Jiwa, Bisakah Dipidanakan?
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Nate Bargatze, komedian asal Amerika, semasa kecilnya pernah melewati ruang tamu rumahnya malam-malam dan melihat sekilas ibunya menonton acara kriminal di tv. Adegannya berupa seorang perempuan tidur dengan kaki menjulur dari bawah selimut, lalu ada pria bertopeng ski diam-diam muncul dalam kamar dan mengusap-usap kaki perempuan itu tanpa ia sadari.

"Karena aku tak sengaja menontonnya 30 tahun lalu, sesudahnya aku tak pernah bisa tidur dengan kaki menjulur dari bawah selimut," ucap Nate. "Kucoba mengeluarkan kakiku tiap malam selama 30 tahun, lalu gambar pria itu muncul di kepalaku."

Zaman sekarang, aksi stalking mungkin sebatas membuat akun palsu di media sosial buat ngepoin kehidupan mantan pacar atau gebetan. Namun, para stalker di masa lalu bisa mengantongi segala macam data pribadi korban, mulai dari alamat rumah, nomor telepon, hingga ukuran baju. Semua itu didapat dengan cara-cara yang membuat bulu kuduk merinding, seperti menguntit korban pulang ngantor sampai depan pintu rumah. Meski hari ini tampaknya sudah jarang terjadi, tapi masih ada saja stalker gaya lama yang membuntuti korbannya diam-diam seperti burung hantu.

***

Belakangan ramai beredar video seorang pria berinisial YA ngamuk-ngamuk di Stasiun Manggarai dan Sudirman. Ia lepas kendali seperti bocah tantrum: mengganggu penumpang lain; mendorong-dorong petugas keamanan; dan berkata-kata kasar. 

Ternyata, bukan sekali-dua kali saja YA berbuat macam itu. Menurut kesaksian banyak orang, perilakunya sudah kambuhan. Bahkan, terbongkar juga bahwa ia pernah terobsesi dengan seorang perempuan asing hingga taraf mengkhawatirkan.

Riska, seorang dokter gigi mengaku mengenal baik korban YA yang juga dokter gigi. Ia berkisah suatu hari YA sampai datang ke klinik temannya, mengobrak-abrik seisi klinik, membanting segala barang, menjebol tembok, meludahi perawat, hanya untuk mendapat nomor hp si perempuan yang jadi obsesinya, dokter P.

"Sudah lapor polisi, tapi berakhir damai," ucap Riska di Twitter-nya, Kamis (13/4/2023). "Sudah kami laporkan, namun YA dapat bebas karena sedang berada di bawah pengawasan dokter kejiwaan."

Riska melanjutkan bahwa setelah kejadian itu, dokter P trauma mendalam: tubuhnya gemetar jika berada di tempat umum dan tak kuat mendengar teriakan. Sementara itu, seperti yang kita tahu, YA yang diduga sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masih berkeliaran dan membuat onar di stasiun-stasiun kereta.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, dalam hukum Indonesia, bisakah stalker dipidanakan? Apakah ada syarat dan ketentuannya? Dan seandainya pelaku diduga mengidap gangguan jiwa, siapa yang berhak memutuskannya dan bagaimana perlindungan kepada korban?

Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Dr. Mudzakkir, pada prinsipnya sejauh stalker berbuat sesuatu hanya untuk kepentingan diri sendiri, itu tidak menjadi masalah. 

“Karena orang yang mengupload data-data pribadi atau kegiatan pribadi kepada publik, konsekuensinya publik boleh tahu,” ujar Mudzakkir saat dihubungi ERA, Kamis (13/4/2023). “Itu menjadi konsumsi publik yang sah-sah saja untuk dikumpulkan, karena dia sudah memberikan informasi itu kepada publik.”

Memang di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur soal stalker. Namun, menurut Mudzakkir, dalam beberapa kondisi mereka juga bisa dipidanakan. “Kalau itu disalahgunakan, sebut saja untuk sengaja memberi informasi negatif, itu yang tidak boleh,” ucapnya. 

“Kalau ada pihak yang dirugikan, bisa melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum. Tapi dia juga harus bisa membuktikan perbuatan itu merugikan kepentingannya dan berdampak negatif,” lanjutnya. Kerugian itu termasuk ancaman yang diterima korban dari stalker. 

Apa yang harus dilakukan ketika mendapat ancaman dari stalker?

Stalker yang mengancam hidup korban dapat dilaporkan ke polisi. Namun, seperti kata Mudzakkir, korban harus bisa membuktikan ancaman tersebut. Maka langkah awal yang harus dilakukan ketika mendapat ancaman adalah mengumpulkan bukti-bukti, seperti screenshot percakapan, rekaman suara, dsb.

Pengancaman tersebut bisa dijerat beberapa pasal. Pertama, Pasal 335 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di sana dijelaskan bahwa siapa yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, maka diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun.

Kedua, Pasal 358 ayat (1) KUHP yang menyebutkan:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Jika stalker mengirim data atau dokumen elektronik kepada korban, misalnya lewat pesan Whatsapp dsb, untuk mengancam dan menakut-nakuti korban, maka ia bisa dikenakan Pasal 29 UU ITE dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.

Lalu bagaimana ceritanya kalau stalker diduga mengidap gangguan jiwa seperti pelaku YA? Sebab, menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP, seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena akalnya kurang sempurna maka tak bisa dipidana. Pada kasus seperti ini, Mudzakkir menjelaskan perlu ada tindak lanjut dari dugaan tadi dan pembuktian bahwa pelaku merupakan pengidap gangguan jiwa. 

Menghadapi stalker yang diduga mengidap gangguan jiwa

“Penyidik harus bisa membuktikan gangguan kejiwaan itu sampai pada tingkat tertinggi yang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujar Mudzakkir. “Dari mana itu? Bisa melalui rekam jejak kesehatannya.”

Ia mencontohkan kasus seorang ibu yang membawa anjing masuk ke masjid di Bogor pada 2020 silam. Kasus itu sempat naik ke pengadilan, tetapi kemudian perkaranya ditutup karena rekam jejak kesehatan jiwanya parah dan dianggap sebagai ODGJ.

Mudzakkir menambahkan tidak semua orang yang mengalami gangguan jiwa bebas dari jerat pidana. Penegak hukum harus memastikan dulu tingkat penyakitnya karena hanya pengidap gangguan jiwa berat yang tak bisa dipidana. 

“Kalau dalam teori itu kan kalau dia ‘setengah gila’ itu bisa dimintai pertanggungjawaban,” ucapnya. “Bahkan sebagian di antaranya pernah dijatuhi pidana mati, disebabkan karena setengah gilanya itu dia menghabisi sekitar 11 nyawa orang.”

Mudzakkir menegaskan seharusnya penegak hukum tidak gegabah melepaskan pelaku yang diduga mengidap gangguan jiwa sebelum memastikan kondisinya. Korban pun berhak meminta penjelasan polisi jika pelaku dibebaskan. Bahkan, seandainya pelaku dilepas karena telah dinyatakan mengidap gangguan jiwa, polisi harus menanggung risiko melindungi korban. 

“Dia harus menjaga orang yang gila itu, atau setidak-tidaknya menyerahkan orang tuanya untuk menjaganya agar tidak bisa berkeliaran ke mana-mana,” ucap Mudzakkir.

Opsi terbaik bagi Mudzakkir saat menghadapi stalker seperti itu adalah memastikan tingkat penyakitnya. Jika ia benar-benar pengidap gangguan jiwa akut, kehilangan akalnya, dan tak bisa berkomunikasi dengan orang lain, maka sah-sah saja dilepas. “Karena kalau ke pengadilan terlalu prosedural dan lama,” ucapnya.

Selanjutnya, jika memang benar pelaku mengidap gangguan jiwa, tetapi masih dalam taraf rendah atau hanya kambuh-kambuhan, sebaiknya polisi tetap memprosesnya sampai ke pengadilan. 

Biarlah hakim di pengadilan yang memutuskan apakah pelaku bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak, kata Mudzakkir. Dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP dijelaskan jika pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

“Saya kira itu penting, selama ini polisi seolah-olah menjadi hakim terhadap mereka tanpa ada parameter hukum yang jelas. Kalau cara seperti itu dilakukan, maka polisi sudah merangkap sebagai hakim,” tutup Mudzakkir.

Rekomendasi