Lebih dari sepuluh tahun Bu Sabina jadi warga Kalcit dan ia sadar betul nama Kalcit sering jadi bahan gunjingan orang-orang di luaran. Suaranya terdengar lirih dari balik masker. "Padahal Mas, kami bilang Kalcit adalah surga kami di sini."
ERA.id - Jika Vatikan dianggap negara di dalam negara, bukan berlebihan menyebut apartemen Kalibata City (Kalcit) sebagai kota di dalam kota. Bu Sabina, ketua RT di tower Damar, memberitahu ERA ada sekitar 13.500 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kalcit. "Dikali tiga udah sama kayak kabupaten," katanya.
Delapan belas tower berdiri tegak di Kalcit memelototi orang-orang yang datang dan pergi. Siapa pun yang masuk dan melewati gerbangnya akan merasa terus diawasi ribuan pasang mata yang terbuat dari bingkai jendela.
"Ketemu di mal aja ya Mas, depan ACE Hardware, saya pakai jilbab hitam," suara Bu Sabina menyahut di seberang telepon saat dihubungi ERA, Minggu (6/11). Sesampainya di lokasi, ada banyak perempuan berjilbab hitam, dan kami tidak tahu pasti yang mana Bu Sabina, sebelum akhirnya mata kami bertemu pandang dan saling melambaikan tangan.
Ada dua orang lain sudah duduk mengitari meja: Bu Nimas penghuni tower Damar, dan Pak Wen penghuni tower Palem. Mereka bertiga sekaligus anggota Forum Silaturahim RT Kalcit, dan para penghuni awal sejak 10 tahun silam. Mereka menjadi saksi sejarah dinamika kehidupan di apartemen yang konon terbesar se-Indonesia itu.
Warga Jakarta hampir pasti pernah mendengar nama Kalcit. Kebanyakan dari mereka tentunya hanya tahu sisi gelapnya saja: Peredaran narkoba, prostitusi, hingga kasus bunuh diri. "Ya gak bisa dipungkiri, seperti itulah stigmanya, makanya kenapa kita dulu bentuk RT," ujar Pak Wen membuka obrolan. "Dulu, 2015, 2016, 2017 itu, setiap tahun pasti ada penggerebekan besar prostitusi di Kalcit," lanjutnya.
Pembentukan RT/RW di rumah hunian vertikal seperti apartemen memang asing terdengar, dan itu bukan ide yang bisa langsung diterima siapa pun, terutama pihak pengelola. Berdirinya RT/RW akan memberi kebebasan lebih kepada warga apartemen untuk mengatur rumah mereka sendiri, yang terkadang dianggap merugikan pengelola.
"Awalnya ya susah membentuk RT, butuh perjuangan," ujar Pak Wen. Ia tak memungkiri usaha mereka membuat lingkungan yang lebih nyaman akan berbenturan langsung dengan perputaran bisnis di apartemen.
Sebelumnya, sudah ada Komunitas Warga Kalibata City (KWKC) sejak 2015, tetapi itu dirasa tak punya cukup pengaruh untuk jadi penyambung lidah warga ke pengelola. Setelah bolak-balik ke kantor wali kota, kepengurusan RT/RW Kalcit baru terbentuk pada 2018 sesuai Surat Ketetapan (SK) dari Kelurahan Rawajati di era Gubernur Anies Baswedan.
"Kalau di rumah tapak kan satu RT itu antara 80-160 KK, kalau di sini agak susah, karena satu tower itu kan 900 unit ya, jadi dibikin satu tower satu RT," ujar Pak Wen menjelaskan seluk beluk pembagian RT di Kalcit. Setelah 2018, perlahan suara-suara miring tentang Kalcit kian sepi. Hal ini berkat kerja bersama warga RT/RW. "Sekarang nggak pernah sampai pecah lagi kan, kalau kasus satu-dua masih ada."
Kalibata City yang mulai berubah
Bu Sabina asli Medan, tapi sejak 1986 ia sudah jadi penduduk Jakarta. Awalnya ia tinggal di Cimanggis, lalu memilih pindah ke Kalcit pada 2011 karena kampus anaknya lebih dekat dari sana. "Mula-mula nyewa di sini, terus saya pikir ah beli aja, karena nyewa kan lumayan mahal juga ya," kenang Bu Sabina. Ia membeli satu unit di tower Damar dan membuka usaha Sabina Salon di tower Jasmin.
Pintu salonnya terbuka untuk siapa saja. Kebanyakan pengunjungnya perempuan muda yang kerap datang malam-malam. Waktu itu hanya ada dua salon di sana, tetapi punya Bu Sabina lebih populer karena ia membebaskan pelanggannya merokok atau duduk sesuka hati. "Asal jangan ngomong jorok sama bawa narkoba," ujarnya. Kini, salon itu sudah tutup, dan Bu Sabina berganti membuka warung makan Medan.
Lebih dari sepuluh tahun Bu Sabina jadi warga Kalcit, dan ia sadar betul nama Kalcit sering jadi bahan gunjingan orang-orang di luaran. Suaranya terdengar lirih dari balik masker. "Padahal Mas, kami bilang Kalcit adalah surga kami di sini."
Bagi orang luar, Kalcit hanya belasan gedung-gedung tinggi ladang investasi. Namun, bagi Bu Sabina dan ribuan warga lain, Kalcit adalah rumah yang mungkin akan mereka huni hingga penghujung hayat. "Makanya, waktu saya baca berita-berita negatif itu, saya sedih banget. Sebelas tahun saya tinggal di sini bersama keluarga. Ini rumah saya." Sewaktu bilang begitu, mata Bu Sabina bagai kaca berembun.
Berdirinya RT/RW membuka jalan bagi warga seperti Bu Sabina mengubah wajah Kalcit jadi lebih baik. Setelah dipilih jadi Ketua RT, Bu Sabina mulai mendata penghuni tower-nya. Nama-nama yang tadinya asing kini benar-benar menjadi tetangga. Dulu, jika kebetulan bersama dalam satu lift, mereka hanya berbalas diam menunggu sampai di lantai masing-masing. Kini mereka bisa saling menyapa dan bertukar kabar.
Pendataan penghuni juga memudahkan pengawasan RT/RW. Pernah kantor imigrasi mencari imigran gelap dari Nigeria yang bersembunyi di Kalcit, Bu Sabina kerja semalam suntuk menyisir tiap tower, mengumpulkan data dari tiap ketua RT. "Kami dapat di tower Borneo tujuh orang imigran ilegal, satu wanita prostitusi, sama tiga gram marijuana," ungkap Bu Sabina.
Dari 982 KK yang menghuni tower Damar, Bu Sabina bilang hanya sekitar 10 persen penghuni tetap yang memegang KTP sana. "Sisanya tuh penyewa. Makanya sering kejadian yang aneh-aneh kan, prostitusi segala macem," ucapnya. "Begitu saya jadi RT, saya lakukan pendataan, banyak sewa harian. Sekarang kalau ada yang aneh-aneh kita langsung lapor security."
Polisi sudah melarang sewa harian di Kalcit sejak akhir Oktober kemarin. Namun, Bu Sabina mengakui terkadang masih ada yang nakal. Sementara Pak Wen menganggap larangan sewa harian bukanlah solusi.
"Persoalan di sewa harian itu, misalkan saya punya saudara butuh transit 2-3 hari, nah itu kan tidak masalah. Jadi persoalannya bukan di sewa harian itu sendiri, tetapi siapa yang menyewa," kata Pak Wen. "Masalahnya di sini kontrolnya memang, kita warga dari dulu minta CCTV di semua lorong, itu nggak pernah dipenuhi sampai sekarang.”
Lima tahun sudah kepengurusan RT/RW Kalcit terbentuk, meski belum mengubah sepenuhnya wajah lama Kalcit, tapi angin perubahan itu tetap terasa. Seperti yang disampaikan Dimas, salah seorang warga Kalcit, "Makin ke sini, warga permanennya makin guyub dan kompak. Ruang terbukanya banyak dan ramah anak."
Detak kehidupan sosial di Kalibata City
Ketika kami sedang asyik mengobrol, seorang pria menenteng map ikut bergabung, namanya Suyono. “Pak Yono ini yang dituakan di tower Damar.” Bu Nimas memperkenalkan pria yang baru saja duduk. Pak Yono habis rapat bersama warga lain membahas pemilihan ketua RT/RW berikutnya. Kira-kira awal Desember nanti mereka akan mengadakan pemilihan.
Pak Yono tinggal di Kalcit sejak 2010. “Saya rumahnya di Klaten, tapi karena sekarang banyak di kantor pusat di Jakarta, saya ambil di sini, daripada kos mending punya alamat,” ujarnya. Berbeda dengan kebanyakan orang, pertimbangannya memilih apartemen di Kalcit cukup menarik.
“Namanya apartemen kan ditinggali, saya harus punya komunitas. Maka karena ada masjid itu saya ambil, jarang apartemen yang masjidnya segede itu, jarang,” ujarnya sambil mengenalkan Masjid Nurullah yang terletak di basemen tower Cendana.
Enam tahun Pak Yono jadi pengurus di masjid itu. Mereka bisa mengumpulkan belasan juta rupiah dari kotak infak saban Jumat, dan ratusan juta setiap bulannya. Dari kas masjid yang ada, segala kegiatan sosial jamaah berputar, mulai dari santunan anak yatim tiap bulan, pengurusan jenazah, hingga beli ambulans.
Selain masjid, ada juga gereja yang tersebar di tower Jasmin, Sakura, dan Lotus. Dari tempat-tempat ibadah itulah komunitas dan kehidupan sosial warga Kalcit berdetak kencang. Kata Pak Yono, kalau mau lihat wajah Kalcit yang sesungguhnya, datanglah saat subuh. “Kalau subuh ada ratusan jemaah di masjid,” ujarnya semangat.
Ustaz Ibrahim Dakosta bergabung ke meja kami tak lama kemudian. Ia memakai jubah putih panjang dengan tas menyelempang ke kiri. Sudah sepuluh tahun ia jadi imam Masjid Nurullah, dan meski tak lagi tinggal di Kalcit, ia masih setia mengimami di sana. Sesekali jika ada kabar duka, ia juga yang siap menyupiri ambulans dan mengantar jenazah ke makamnya.
"Saya pertama kali bawa ambulans itu ke Jogja, nganter jenazah salah satu marbot masjid."
Pak Wen yang duduk diapit Bu Nimas dan Pak Yono berkomentar, “Kan selalu dikatakan penghuni apartemen itu sukanya privasi, individual, mereka tidak mau saling kenal. Sebenarnya enggak juga. Semua orang di sini bisa bersosialisasi kok hidupnya. Orang itu juga butuh saling bertetangga.”
Di tower Damar misalnya, Pak Yono berinisiatif mengumpulkan sumbangan warga untuk memberi THR petugas tower sejumlah 28 orang. “Terakhir kita dapat satu juta per orang, kan seneng mereka,” ujar Pak Yono. “Artinya kemauan untuk bersosialisasi, saling berbagi itu banyak.”
Ibu-ibu di Kalcit bahkan mendirikan posyandu sendiri, setahun sebelum kepengurusan RT/RW terbentuk. Tiap bulannya ibu-ibu hamil, menyusui, hingga yang menggendong bayi dan membawa balita berkumpul di selasar tower Herbras untuk memeriksakan kesehatan mereka. "Bisa sampai 250 orang sebelum pandemi," ujar Bu Sabina.
Hanya saja, semangat membangun komunitas dan bersosialisasi ini sering kali tidak didukung penuh pengelola. Misalnya, tiap tower sejatinya punya balai warga, ruangan yang cukup luas untuk mereka berkumpul dan tertawa bersama. Sayangnya, akses pemakaian sering kali berbelit-belit, bahkan sebagian besar penghuni Kalcit tidak tahu mereka punya balai warga.
Ketika ERA datang ke sana, balai warga di tower Palem malah sudah menjelma gudang. Pak Wen bercerita warga tower-nya harus numpang ke tower Rafles jika ingin mengadakan acara. Itu pun mereka sering dipersulit pihak pengelola dengan berbagai alasan. "Yang gak ada AC-nya lah, panaslah, macem-macem," ujar Pak Wen.
Di tengah diskusi kami yang belum usai, Pak Yono mesti pamit lebih dulu, ia bilang masih ditunggu warga untuk agenda lain. Bu Nimas menyusul pergi tak lama setelahnya, ia menunjuk perutnya yang sudah agak membesar, usia kandungannya sudah masuk enam bulan. Bu Sabina menemani teman satu tower-nya itu kembali ke kamar.
Hari menjelang magrib, tinggal Pak Wen dan Ustaz Ibrahim yang masih bertahan, kami lihat beberapa orang lalu-lalang menuju masjid. Itu pertanda Ustaz Ibrahim harus segera bersiap. Kami akhirnya menyudahi percakapan sore itu dan mengambil arah yang berbeda keluar dari mal.
Berjalan di antara belasan gedung puluhan lantai kembali menyadarkan kami, betapa Kalcit bagaimana pun masih labirin besar yang membingungkan. Tanpa papan petunjuk yang memadai, siapa pun bisa terjebak lama di sana. Saat itu, kita hanya berharap dapat berjumpa warga yang menunjukkan arah jalan keluar. Warga-warga seperti Pak Wen yang bukan hanya menganggap Kalcit sebagai tempat singgah, melainkan rumah.