ERA.id - Sejak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dicetuskan pada 1970, sudah terjadi sebelas kali pergantian kepala. Terakhir, bekas Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo yang dipercaya mengisi jabatan tersebut. Dan redaksi Era.id berkesempatan menemuinya pada Kamis (4/7/2024) untuk mengobrol terkait kebijakan BKKBN, termasuk pernyataan Hasto yang sempat menuai kontroversi baru-baru ini.
Sebelum diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Kepala BKKBN pada 2019, Hasto sempat dua kali menjabat sebagai Bupati Kulonprogo pada periode 2011-2016 dan 2016-2019. Dan salah satu upayanya meningkatkan perekonomian tempat kelahirannya itu adalah lewat program “Bela dan Beli Kulonprogo”.
Hasto mewajibkan pelajar dan PNS di sana memakai batik gebleg renteng khas Kulonprogo pada hari-hari tertentu. Ia juga mewajibkan setiap PNS membeli beras petani Kulonprogo sebanyak 10 kilogram per bulan.
Sukses sebagai kepala daerah, pria kelahiran 1964 ini pun melanjutkan kariernya sebagai Kepala BKKBN menggantikan Sigit Priohutomo. Hampir lima tahun berjalan tanpa kritik pedas, Hasto pun menjadi bulan-bulanan publik setelah beberapa headline berita menulis BKKBN meminta setiap pasangan di Indonesia punya satu anak perempuan. Alasannya agar Indonesia tidak mengalami penyusutan populasi penduduk.
Namun, saat kami temui di kantornya, Hasto blak-blakan bilang banyak wartawan salah mengutip pernyataannya.
“Jadi ini dipotong oleh wartawan, di mana-mana wartawan memotong kalimat saya. Jadi kalimat saya itu supaya penduduk tumbuh seimbang, supaya kita tidak zero growth, supaya tidak minus growth, kita ini harus rata-rata satu perempuan melahirkan satu perempuan,” ujarnya.
Selain memberi klarifikasi tadi, kami juga banyak membahas seputar isu-isu kekeluargaan terkini, mulai dari maraknya pernikahan dini, baik-buruk penggunaan alat kontrasepsi, alasan mengapa dua anak lebih sehat, pendapatnya terkait childfree di kalangan generasi muda, hingga alasan banyak perempuan Indonesia kena kanker mulut rahim. Berikut ini wawancara lengkap kami bersama Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K).
Sebetulnya kehidupan keluarga ideal itu seperti apa menurut BKKBN?
Di pemerintah ini kalau program kan semua dikerjakan dengan ukuran. Jadi tentram mandiri bahagia skornya ini semua maksimalnya bisa sampai 100. Kalau bagi saya, ya ideal itu apabila paling tidak skornya di atas 80 lah.
Itu misalkan kalau ketentraman ini, keluarga yang ideal ya jelas statusnya punya surat nikah. Kemudian juga mereka status keluarganya itu jelas semuanya, ini kan unsur dari ketentraman. Karena kalau ada keluarga itu misalkan suami juga enggak jelas gitu ya, kemudian istri ini statusnya apa nikah siri apa nikah beneran atau itu enggak jelas juga kan repot.
Kalau tadi tanya keluarga yang ideal, ya harus selesai masalah ini. Ini kan unsur ketentraman. Anda kira-kira tentram enggak kalau jadi keluarga, tapi statusnya jalan S3 simpanan? Itu kan mestinya enggak tentram. Ini contoh.
Ideal yang kedua, ya unsur kemandirian tadi. Mestinya orang tuh punya pendapatan yang jelas, dalam arti kalau misal punya istri, punya anak dua, mestinya bulan depan makan apa sudah jelas, hari ini idealnya seperti itu. Bukan, “Waduh ini kalau nanti dapat judi online ya lumayan agar kita bisa beli beras, tapi kalau enggak ya kita enggak tahu.” Itu jangan begitulah.
Ini kan berarti ada kejelasan dari sisi ekonomi ya untuk masalah memenuhi kebutuhan anak-istri dari konsumsi makanan. Kemudian yang kedua juga kesehatan, misalkan dia kalau anaknya tiba-tiba sakit kira-kira punya tabungan enggak?
Keluarga yang ideal nih keluarga yang punya tabungan. Kalau anaknya sakit punya tabungan, kalau misalkan bulan depan anaknya mau sekolah juga punya uang untuk beli seragam, misalnya begitu. Ini dari sisi kemandirian menurut keluarga ideal.
Nah keluarga ideal yang dari unsur kebahagiaan itu ya namanya orang bahagia biasanya masih bisa menyisihkan waktu untuk rekreasi bersama keluarga. Mungkin juga bersosialisasi gotong royong dengan keluarga juga masih ada waktu. Ini baru ideal.
Program BKKBN kita tahu sebelumnya dua anak cukup. Saat ini dua anak lebih sehat. Bagaimana implementasinya?
Cukup itu kan sangat subjektif ya. Ada orang bilang dua anak cukup, ada yang enggak cukup, atau ada yang kelebihan pengen satu saja gitu kan. (Ada juga istilah) dua anak lebih baik, lebih baik juga subjektif. Menurut saya (mungkin) tidak lebih baik, saya lebih baiknya satu atau tiga. Nah makanya dua anak lebih sehat itu oke. Kenapa lebih sehat? Sehat itu ukurannya adalah objektif.
Kalau Anda anaknya tiga, empat, lima, perempuan itu melahirkan mudah pendarahan. Jadi rahim perempuan itu kan kalau hamil dikempeskan, melahirkan, dihamili lagi, membesar lagi, kempeskan lagi. Itu artinya melahirkan yang ketiga keempat kan bisa bayinya keluar, tapi rahimnya enggak kontraksi, ari-arinya lepas, akhirnya pendarahan enggak terkendali, sehingga orang yang hamil berkali-kali itu resiko kematian ibu karena pendarahan tinggi.
Nah itu berarti kan lebih sehat orang yang hamilnya dua, jaraknya tiga tahun, anaknya sehat karena disusuinya dua tahun. Nanti setelah menyusui selang satu tahun baru hamil lagi, itu kan sehat.
Coba kalau anaknya banyak, itu kan setahun hamil, setahun hamil, kan enggak sempat disusui, ibunya juga anemia biasanya kurang darah. Nah itulah konsep dua anak lebih sehat sebetulnya seperti itu. Di sisi lain memang kalau kita mau menjaga supaya penduduk tumbuh seimbang ya punya anak dua.
Kemarin BKKBN sempat ramai karena ada saran supaya satu pasangan minimal punya satu anak perempuan, bagaimana maksudnya?
Kalimat ini salah, saya ralat ya. Jadi harusnya kurang kata “rata-rata”. Jadi ini dipotong oleh wartawan, di mana-mana wartawan memotong kalimat saya. Jadi kalimat saya itu supaya penduduk tumbuh seimbang, supaya kita tidak zero growth, supaya tidak minus growth, kita ini harus rata-rata satu perempuan melahirkan satu perempuan.
Saya tidak bilang keluarga juga, saya bilangnya satu perempuan melahirkan satu perempuan. Karena nanti kalau ada keluarga suaminya satu istrinya dua kan tetap hukum saya satu perempuan diharapkan (melahirkan satu anak), rata-rata loh, jangan dihilangkan kalimat rata-rata.
Dalam arti bahwa harus ada perempuan-perempuan lain yang anaknya lebih dari satu perempuannya, supaya nombok yang tidak hamil itu. Makanya kalimat saya itu jangan dihilangkan rata-rata. Dan bukan keluarga sebenarnya, tapi perempuan.
Anda bisa bayangkan ya satu wilayah, satu RW, atau satu perdukuhan misalnya, per seribu perempuannya misalkan itu 500, terus suatu saat 10 tahun berikutnya perempuannya tinggal 400, maka penduduk ini akan punah. Karena apa? Yang bisa melahirkan itu siapa? Perempuan.
Apa ada cowok bisa hamil? Cowok-cowok kan cuma menghamili saja toh. Tapi kan ndak bisa cowok untuk terus menambah jumlah penduduk. Itulah makna bahwa perempuan ini jangan berkurang jumlahnya kalau kita ingin penduduk tumbuh seimbang. Ya satu perempuan meregenerasi satu perempuan rata-rata.
Karena orang terus bingung, “Loh aku belum punya anak perempuan, terus saya harus punya anak perempuan?” Lihat tetangganya lah.
Bagaimana pandangan BKKBN terkait penggunaan kontrasepsi yang sering dinilai punya efek samping?
Alat kontrasepsi itu contoh kondom. Mungkin ada orang yang kalau hubungan suami-istri kalau pakai kondom merasa kurang puas, karena kondomnya dibuat dari plastik misalkan sehingga kondomnya tidak menghantarkan panas. Contoh begitu itu dianggap sebagai satu efek samping.
Tapi bagaimanapun juga, kondom yang terbuat dari plastik yang tidak menghantarkan panas sehingga tidak bisa merasakan kehangatannya istri dan suami itu mencegah HIV, sehingga sebetulnya ya efek negatif ada, tapi efek positifnya juga ada.
Supaya dipertimbangkan karena hari ini kita tahu di beberapa kota HIV ternyata cukup tinggi. Dan ibu-ibu kadang enggak tahu itu, tahu-tahu ibu rumah tangga aja kena HIV, padahal dia tidak pernah ke mana-mana. Sehingga sebetulnya salah satu contoh kontrasepsi pakai kondom ini ya ada manfaatnya.
Ada lagi contoh misalkan ada orang yang setiap menstruasi itu nyeri sekali hebat sampai harus istirahat, kadang-kadang harus minum obat. Itu kan begitu pakai KB suntik yang tiga bulan sekali hilang sakitnya, atau begitu pakai pil KB hilang sakitnya. Bahkan mereka yang sakit pada saat menstruasi, kemudian dia tidak bisa pakai obat yang mahal-mahal, maka pakai obat KB juga selesai.
Jadi sebetulnya ada added value lah. Pil KB atau suntik KB ini juga ada manfaatnya, jadi jangan hanya dilihat dari sisi efek samping saja. Kalau efek samping misalkan mungkin berat badan naik, itu kan karena pakai hormon estrogen, ganti ajalah. Wong sekarang pakai progesteron juga bisa. Jadi kalau pakai estrogen berat badan naik gantilah pakai progesteron, itu kan yang tidak membuat berat badan naik.
Sehingga sebetulnya asal sudah konsultasi ke dokter, maka bisa dipilah-pilah. Sebetulnya ya harus fair lah, harus dilihat efek samping dan juga added value.
Sekarang ada juga anak-anak muda yang memutuskan untuk tidak menikah, bahkan juga yang sudah menikah memutuskan untuk childfree seperti itu. Bagaimana pendapatnya?
Punya anak atau tidak itu menjadi hak, hak reproduksi. Saya mau punya anak atau mau tidak punya anak, itu bagian hak. Tapi di dalam melaksanakan hak itu harus paham bahwa ada plus minus-nya, ada untungnya, ada ruginya.
Kita selalu memberikan edukasi. Sebagai contoh begini, resiko kanker payudara lebih tinggi pada orang-orang yang tidak menyusui dibandingkan orang yang menyusui. Jadi maksudnya perempuan itu kalau memutuskan saya tidak akan menyusui, saya tidak ingin punya anak, child free, tapi ya bacalah. Ilmunya agak diperluas sedikit, jangan seperti katak dalam tempurung terus teriak-teriak, itu kan ya kasihan.
Orang yang tidak pernah hamil kan menstruasi terus tiap bulan. Dan ternyata juga kalau menstruasi terus-menerus itu kalau enggak bagus-bagus bisa anemia. Tapi kalau berhenti hamil kan lumayan juga.
Terus juga orang-orang yang enggak pernah hamil atau hamil cuman sekali, itu cenderung kanker rahimnya lebih tinggi, kalau mulut rahimnya tidak. Tapi kanker rahimnya lebih tinggi pada orang yang hamilnya sekali atau tidak pernah hamil. Itu sekali lagi bukan kanker mulut rahim, tapi kanker rahim, namanya endometrial cancer.
Nah hal-hal seperti ini kan harus dipahami juga. Jangan hanya, “Saya tidak akan ini, tidak akan itu.” Tetapi kan Tuhan itu menciptakan kita ya fitrahnya itu untuk hamil, melahirkan. Sehingga ya ternyata ada untungnya menyusui, ada untungnya hamil.
Itu baru dari sisi biologis loh, belum dari sisi yang lain yang sifatnya agak subjektif, istilahnya kan kita juga akan jadi orang tua, terus kemudian kita juga perlu ada yang ngurus, tidak merepotkan orang lain, itu tuh sisi-sisi subjektif. Mungkin kalau saya ngomong gitu dibantah, tapi saya bicara yang tidak bisa dibantah dari sisi biologis, itu kan dari hukum Tuhan lah ya.
Dengan begitu banyaknya program BKKBN saat ini, apa tantangan yang dihadapi?
Program stunting misalnya, itu tantangannya mindset. Sebagai contoh, orang pokoknya kawin usia muda. Aduh gimana ya, kan kawin usia muda, umur belum 20 tahun, hamil, ini kan anaknya resiko stunting-nya juga tinggi.
Perempuan itu sendiri kan kalau hamil di bawah usia 20 tahun, kan perempuan sendiri harus tulangnya tambah padat, kemudian tulangnya masih tambah panjang. Begitu hamil stop dia, stop, tulangnya tidak tambah padat dan tidak tambah panjang, karena diambil oleh bayinya.
Dia tidak menyadari betul bahwa, “Oh saya itu masih tumbuh dalam rangka menyempurnakan badannya bisa tinggi, tulangnya bisa padat.” Kan tidak mikir sama sekali. Sebetulnya karena pendidikan reproduksi, pendidikan seksualitas kurang diberikan ya, sehingga akhirnya orang enggak tahu menurut saya.
Ayolah kita ini mengubah mindset kita dengan lebih banyak membaca, lebih banyak mencari tahu pengetahuan itu, bahwa ternyata kalau hamil 16 tahun itu masa depan saya tulangnya lebih keropos, apalagi yang langsing-langsing. Itu kan orang yang perempuan yang langsing kan tulangnya relatif lebih keropos kalau udah menopause dibandingkan yang gemuk.
Kalau saya bayangkan hamil usia 16 tahun, terus anaknya agak banyak, kemudian besok umur 50 tahun menopause, badannya kurus, waduh kepleset di kamar mandi aja patah tulangnya. Sebetulnya kalau kepleset di kamar mandi, patah tulangnya, yang disalahkan jangan kamar mandinya dan jangan istrinya loh, yang disalahkan adalah suaminya yang dulu menghamili pada usia 16 tahun.
Itu contoh aja bahwa kesadaran untuk bereproduksi itu perlu dibangkitkan, perlu diberikan edukasi, sehingga akhirnya paham. Dari sisi mindset tentang kesehatan reproduksi, kawin pada usia 14-15 tahun kan mulut rahimnya saja masih estropion, masih menghadap keluar. Mulut rahim yang masih menghadap keluar atau estropion ini, ini daerah yang mau jadi kanker mulut rahim masih di luar, karena ada batas yang akan jadi kanker mulut rahim itu di luar.
Jadi kalau hubungan layaknya suami istri, ini masih terbentur-bentur daerah yang mau jadi kanker, itu namanya squamocolumnar junction. Di situ yang akan jadi kanker mulut rahim. Tapi kalau sudah 20 tahun mulut rahimnya itu udah interopion, sudah menutup. Dan pada saat menutup itu daerah yang mau jadi kanker sudah enggak terbentur-bentur.
Tapi ini kan ndak ngerti, sudah sampai nenek-nenek aja ndak ngerti, selama hidup belum pernah tahu. Anda aja tahu setelah ketemu saya mungkin. Artinya apa? Kalau ini dibiarkan, tetap enggak tahu. Makanya di Indonesia itu kanker nomor satu untuk perempuan kanker payudara. Kanker nomor dua perempuan adalah mulut rahim.
Di beberapa negara maju, kanker mulut rahim itu enggak ada nomornya, ya nomornya nomor 10 atau nomor berapa, nomor banyaklah, karena apa? Dia ngerti kalau berhubungan seksnya terlalu muda umur 15-16 tahun, dia rajin pap smear (prosedur pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker serviks pada perempuan, red.).
Kalau kita pap smear aja takut kok. Jadi kita ini pendidikannya belum meningkat, pap smear masih takut, pengetahuannya juga takut, juga belum cukup, tapi hubungan seksnya meningkat maju lebih awal. Nah itu loh masalahnya.
Sehingga akhirnya kanker mulut rahim ini di Indonesia presentasenya kok tinggi. Padahal ini preventable, artinya kanker yang bisa dicegah. Kalau merasa hubungan seksnya terlalu muda ya udah pap smear rutin setahun sekali. Jadi ini mindset dalam bidang reproduksi.
Kemudian tantangan kedua adalah mindset dalam bidang, kalau seperti stunting ini pola makan. Orang kan makan nasi lauknya kerupuk. Sedih juga ya, kerupuknya dibuat dari beras gitu, kemudian lauknya lagi mi, sayur kentang, aduh prihatin sekali. Cemilannya singkong, terus snack-nya cilok. Kan karbohidrat semua itu.
Jadi aduh gimana ya, pola makan ini perlu direvolusi juga. Bahwa makan ikan lebih baik daripada makan daging. Artinya kalau punya uangnya terbatas, ya tidak harus beli daging, ikan saja gitu loh. Karena ikan mengandung DHA Omega-3 yang untuk kecerdasan otak bayi. Untuk ibu hamil juga sangat bagus. Kalau daging sapi kan tidak mengandung itu. Telur juga lebih baik karena mengandung DHA Omega-3.
Sebetulnya saya tidak benci sama cilok ya, tapi saya mohonlah para pedagang cilok itu kalau bisa harus sejujur-jujurnya. Dalam arti kalau rasanya ikan ya ada ikannya. Rasa telur ya ada telurnya. Kadang-kadang kan ini rasa ikan tapi ternyata cuman kaldu misalnya. Karena tidak bisa dicek. Kalau lemper kan bisa dicek.
Kita bikin cilok itu ya bagus, tapi ayolah ciloknya itu difortifikasi lah, jadi betul-betul mungkin cilok dengan telur, cilok dengan ikan. Harapan saya gitu. Kalau ndak itu ya ciloko (celaka, red.).
Nah tantangan yang ketiga adalah perilaku kesehatan lingkungan. Jadi karena ketika kita ingin menurunkan angka stunting, kalau lingkungannya masih kumuh, rumahnya kumuh, lantainya tidak dikasih keramik yang bagus, air bersihnya tidak cukup, waduh itu juga sering diare, sering TBC. Itu kalau ada diare, ada TBC, ya sudah anak-anak pasti perkembangannya enggak bagus.
Itulah tantangan-tantangan kita untuk masalah program yang ada di BKKBN, terutama tadi yang saya sampaikan stunting. Sedangkan tantangan untuk kontrasepsi saya kira kembali ke mindset, perilaku, karena masih ada orang (menganut) banyak anak banyak rezeki, meskipun itu tidak banyak, ya kita harus dua anak lebih sehat tadi.