Waspada Revenge Porn, Jangan "Bugil" Depan Kamera: Korban Berhak Dapat Perlindungan

| 14 Aug 2024 20:00
Waspada Revenge Porn, Jangan
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Dahulu, orang-orang cenderung lebih sulit terpapar konten-konten pornografi. Sebelum internet berkembang luas dan semakin praktis, pornografi hanya menjangkau konsumennya lewat rilisan fisik seperti CD atau majalah. Bersamaan dengan itu, perekaman video porno biasanya sebatas dilakukan rumah-rumah produksi untuk tujuan komersil. 

Namun, sejak telepon-telepon genggam mulai dibekali dengan kamera, orang-orang bisa bebas merekam aktivitas seksual mereka. Sebagian besar untuk kepuasan dan koleksi pribadi. Namun, sering kali video-video seks amatir ini disalahgunakan untuk balas dendam alias revenge porn. Dan dengan perkembangan media sosia sepertil sekarang, aksi keji itu sangat gampang dieksekusi.

Terbaru dan belakangan ramai, kasus revenge porn menimpa AD, putri dari musisi papan atas Indonesia. Potongan video syurnya sempat beredar di media sosial beberapa waktu lalu. Akhirnya, polisi berhasil membekuk sang penyebar video yang merupakan mantan pacarnya, AP (27).

Pemeran pria dan juga penyebar pertama kasus video syur AD itu ditangkap di Cilangkap, Jakarta Timur, pada Jumat (9/8/2024) malam. Dari hasil pemeriksaan, pelaku mengaku motifnya lantaran sakit hati.

“Tersangka sakit hati setelah diputuskan sebagai kekasih oleh saksi AD. Sehingga tersangka ingin mempermalukan AD dengan menyebarkan video bermuatan asusila/pornografi dimaksud," kata Dirreskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak kepada wartawan, Senin (12/8/2024).

AP membuat video bersama AD pada 19 Desember 2022. Ia lalu menyebarkan konten pornografi itu melalui akun X @bb2638 yang kini sudah dinonaktifkan. Awalnya, AP tak mengaku saat diringkus polisi. Namun, ia tak bisa mengelak saat penyidik melakukan proses digital terhadap ponselnya dan menemukan jejak digital berupa video yang belum diedit.

"Dan jejak percakapan saksi dengan pengguna Twitter atau akun media sosial X lainnya. Yang intinya bahwa AP menawarkan video bermuatan asusila/pornografi yang diduga diperankan AD kepada pengguna Twitter atau X lainnya," ujar Kombes Ade.

Polisi menyebut saksi AD tak tahu jika pacarnya merekam video saat mereka berhubungan badan. Saat hubungan keduanya putus, AP lalu mengancam akan menyebarkan video mereka kalau AD tak mau balikan.

AP kini telah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan. Ia dijerat Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 7 juncto Pasal 33 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Sementara itu, AD bukan korban pertama kasus revenge porn di Indonesia. Sebelumnya, artis berinisial RK juga sempat diduga menjadi korban revenge porn setelah video syur mirip dirinya tersebar luas tahun lalu. Banyak video porno amatir lain juga bertebaran di media sosial seperti X, yang kemungkinan besar disebarluaskan tanpa sepengetahuan dan persetujuan setiap pihak.

Mengapa kasus revenge porn marak terjadi? Bagaimana implikasi hukumnya terhadap pemeran yang terlibat dalam video? Dan bagaimana cara kita melindungi diri agar tak menjadi korban selanjutnya?

Revenge porn dalam bingkai hukum dan kekerasan seksual

Menurut Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan, revenge porn adalah aksi menyebarluaskan gambar atau video seksual seseorang tanpa persetujuan mereka. Pelaku biasanya adalah mantan kekasih dan individu yang punya motif jahat seperti balas dendam, mengancam, mempermalukan, dan lain-lain.

Berdasarkan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), revenge porn termasuk kategori kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), yaitu tindakan non-consensual intimate image (NCII) atau penyebaran konten intim non-konsensual.

Dalam Pasal 14 UU TPKS dijelaskan bahwa setiap orang yang “melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar” dipidana karena melakukan KSBE. Ancaman hukumannya maksimal empat tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia sendiri tercatat meningkat secara signifikan, terutama di era digital ini. Menurut data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual dari Mei 2022 hingga Desember 2023 mencapai 4.179 kasus yang didominasi oleh KSBE. Sementara saluran bantuan Revenge Porn melaporkan terdapat nyaris 19 ribu kasus pemerasan seksual sepanjang 2023, naik 106 persen dari tahun sebelumnya.

Masalahnya, korban revenge porn juga sering ikut dilaporkan dalam kasus penyebaran konten pornografi. Misalnya, tahun lalu ada sebagian masyarakat yang melaporkan artis RK ke polisi karena video porno mirip dirinya tersebar.

“Ini bukan kasus pertama, di mana korban malah dijadikan pelaku dalam kasus penyebaran konten intim non konsensual. Harusnya publik dan penegak hukum menyadari bahwa dalam kasus tersebarnya konten intim ada korban yang dilecehkan, direndahkan, dan dilanggar hak atas privasinya,” ujar Manajer Advokasi Lintas Feminis Jakarta Naila Rizqi Zakiah dalam keterangan persnya, dikutip Rabu (14/8/2024).

“Negara wajib memberikan perlindungan pada korban bukannya malah membiarkan korban dikriminalisasi atau disebar ulang kontennya,” lanjutnya.

Menurut Naila, dalam banyak kasus penyebaran konten intim non-konsensual (NCII), penegak hukum masih cenderung menilainya sebagai pelanggaran kesusilaan. Dengan begitu, akhirnya korban bisa saja ikut dipidanakan. 

“Nanti publik melihatnya dari kacamata moralitas, itu berbahaya, karena korban akan dapat penghukuman berlapis,” ujarnya.

Hal ini bisa terjadi karena penanganan kasus NCII biasanya menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bukannya UU TPKS. Naila menilai UU ITE justru berisiko membuat penegak hukum menolak aduan korban dan gagal melihat kasus penyebaran konten intim non-konsensual sebagai kasus kekerasan seksual.

Karena itu, Naila mendorong agar penegak hukum menggunakan UU TPKS dalam menangani kasus-kasus serupa, sehingga penanganan kasusnya bisa lebih komprehensif, melindungi korban, mengadili pelaku, dan ada upaya penghapusan konten yang disebarkan.

Upaya berlindung dari jebakan revenge porn

Pakar keamanan siber sekaligus pengamat media sosial, Ibnu Dwi Cahyo menyebut kasus revenge porn adalah fenomena gunung es dan harus dijadikan tonggak untuk pembenahan sistem hukum di Indonesia.

“Bila melihat di Twitter memang sebagian besar konten revenge porn ini disebar oleh pasangan yang belum menikah atau oleh orang lain yang memperoleh konten dengan cara tertentu, misalnya menaruh kamera tersembunyi untuk mendapatkan konten asusila tersebut,” ujar Ibnu dalam keterangannya yang dikutip Rabu (14/8/2024).

Meskipun revenge porn biasanya menyasar perempuan, tetapi ia menggarisbawahi bahwa semua bisa menjadi korban, termasuk laki-laki. Modus yang dilakukan para pelaku biasanya melakukan social engineering dengan meyakinkan korban untuk bersedia difoto, direkam video, atau mengirimkan konten tersebut.

Saat pelaku sudah mendapatkan konten yang mereka inginkan, media sosial akan dijadikan ancaman kepada korban untuk meraup untung.

"Ini jelas sudah melanggar UU ITE pasal 27 ayat (1) dan (4), di mana pelaku tidak hanya mendistribusikan konten asusila disertai dengan ancaman kepada korban,” terang Ibnu.

Menurutnya, kasus revenge porn harus menjadi perhatian lembaga pendidikan, di mana mereka bisa memberikan edukasi sejak dini dengan memperkenalkan keamanan siber, seperti tidak membuat konten tanpa busana di depan kamera.

"Karena itu sangat penting edukasi sejak dini soal keamanan siber, salah satunya materi terkait jangan bugil di depan kamera. (Sementara) negara lewat aparat kepolisian dan Kemenkominfo bisa menertibkan akun media sosial terutama di Twitter yang melakukan upload konten revenge porn ini," tegas Ibnu.

"Terakhir, penegakan hukum pada pelaku revenge porn harus diberikan secara maksimal sehingga ada efek jera serta menjadi contoh di masyarakat," tambahnya. 

Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar mendorong agar korban revenge porn berani melaporkan kasusnya.

"Bagi para korban revenge porn, tentunya agar tidak perlu takut untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialami dan segera cari perlindungan di tempat yang aman untuk menghindari ancaman dari pelaku," ujar Nahar kepada Era.id, Rabu (14/8/2024). 

"Untuk selanjutnya agar lebih waspada tidak memberikan informasi privasi kepada orang lain meskipun orang tersebut dianggap dapat dipercaya," lanjutnya.

Nahar mengungkapkan biasanya relasi kuasa yang timbul dari pelaku kepada korban kerap menghantui mereka untuk itu segera melaporkan konten-konten tersebut kepada kanal-kanal aduan yang ada. Padahal, ia menegaskan bahwa korban revenge porn berhak mendapatkan perlindungan.

"Korban revenge porn di Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dari KemenPPPA dan pihak terkait lainnya, mulai dari perlindungan hukum dan dukungan psikologis," ucapnya.

Perlindungan hukum tersebut, menurutnya, dijamin dalam UU ITE; UU TPKS; hingga UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan dan dukungan yang diperlukan selama proses hukum. Korban juga berhak mendapatkan dukungan psikologis dan sosial berupa konseling, terapi, dan penghapusan konten dari platform digital. 

Lalu, apa yang harus dilakukan jika kita menghadapi revenge porn? Nahar menyarankan agar korban tetap tenang dan tidak menuruti permintaan atau ancaman dari pelaku. Sebaliknya, korban bisa segera melaporkan tindakan mereka ke pihak berwenang.

Kemudian, menyimpan semua bukti terkait penyebaran konten, termasuk tangkapan layar, tautan, dan pesan ancaman dari pelaku. "Bukti ini akan sangat penting saat melaporkan kasus tersebut ke pihak berwenang," ujar Nahar.

Selanjutnya, korban bisa menghubungi platform digital tempat konten tersebut disebarkan dan meminta mereka untuk menghapus konten tersebut. Nahar menyebut banyak platform memiliki kebijakan untuk menangani konten yang melanggar privasi.

"Pertimbangkan untuk menonaktifkan sementara akun media sosial Anda untuk menghindari stres tambahan dan mencegah pelaku mengakses lebih banyak informasi pribadi," tambah Nahar.

Terakhir, jangan ragu untuk mencari bantuan dari konselor atau psikolog, karena dukungan emosional sangat penting untuk membantu korban mengatasi trauma dan stres yang mungkin timbul.

Rekomendasi