Suara klakson menyalak di jalan-jalan sempit; truk-truk bongkar muatan di depan gudang-gudang pabrik plastik dan toko segala rupa; aneka kuliner dari mie ayam hingga kue bulan Sin Hap Hoat menunggu pembeli; dan kali yang berhenti mengalir di atas jembatan merah.
ERA.id - Hampir lewat setahun sejak terakhir saya ke Glodok. Waktu itu imlek, saya ke sana untuk mengunjungi Ban Seng, menemui pewaris generasi ketiga dari toko obat legendaris berusia hampir seabad itu. Setelahnya, tak ada alasan saya pergi ke Glodok, dan saya selalu mengira kawasan pecinan itu bakal ramai hanya ketika merayakan tahun baru. Namun, saya keliru.
Hari-hari biasa di Glodok sama dengan hari yang sibuk. Rabu (16/8/2023) kemarin, sehari sebelum libur kemerdekaan, saya pergi ke sana naik kereta rute Manggarai-Jakarta Kota. Turun di stasiun terakhir, saya pesan ojek ke arah Petak Enam Glodok.
Betapa saya bersyukur tidak naik kendaraan pribadi apalagi mobil sebab bakal susah cari tempat parkir. Selain itu, saya baru menyadari di saat kendaraan bermotor mesti saling menunggu dan bersabar saat bersalipan, yang paling cepat dan gesit di jalan-jalan sepanjang Glodok adalah para pejalan kaki.
Tujuan saya ke sana minggu lalu adalah menyusuri sisa-sisa ingatan Glodok sebagai tempat perputaran uang gelap tempo dulu. Apalagi belakangan sempat ramai di media sosial ada yang menyebutnya Las Vegas versi Indonesia. Beberapa bangunan lawas yang belum dipugar disebut-sebut sebagai bekas rumah bordil, sarang perjudian, hingga pusat transaksi candu. Benarkah demikian?
Saya ditemani oleh pegiat sejarah Mazzini selama perjalanan kemarin. Menurutnya, Glodok dulu memang bisa dibilang sebagai salah satu tempat orang mencari “hiburan”.
“Jadi antara rumah bordil, tempat perjudian, atau penjual opium, terpusat di sini juga. Kalau rumah bordil itu namanya sohian, jadi ada banyak sohian-sohian yang ada di sekitaran Glodok ini dulu.” ujarnya.
“Tapi yang perlu diingat bahwa bangunan yang sekarang gak bisa kita identifikasi dulunya apa, kan beda generasi, beda lahan bisnis yang mereka bangun. Karena dulu tahun 70-an sempat dipindahin secara besar-besaran ya," lanjutnya.
Glodok dalam pusaran judi, prostitusi, dan candu
Tak jauh dari Petak Enam, sebuah gang kecil sepanjang kurang dari 1 km masih disesaki beberapa bangunan tua khas Tionghoa dengan atap pelana kuda. Kini gang itu bernama Jl. Perniagaan Barat atau Gang Jelakeng. Dahulu, ia dikenal dengan nama Ji Lak Keng. Dalam bahasa Hokkien, ji lak berarti ‘dua puluh enam’ dan keng berarti ‘bangunan’.
Menurut Jaringan Kota Pusaka Indonesia, pada masa lalu air Sungai Angke mengalir di depan 26 rumah berlantai dua yang ada di Ji Lak Keng. Dan pada pertengahan abad ke-18, bangunan-bangunan di sana difungsikan sebagai tempat hiburan orang-orang kaya dan ningrat. Lantai bawah dipakai menghisap madat, sedangkan yang atas dijadikan rumah bordil.
“Dulu orang menyebutnya cabo, cabo itu PSK yang ada di kawasan Glodok ini,” cerita Mazzini sambil menyusuri Jelakeng. “Jadi kalau dulu itu ada orang-orang dari etnis Tionghoa ataupun dari kalangan pribumi. Masuk tahun 1850-1860, itu kan migrasi besar-besaran dari Jepang. Salah satu pekerjaan yang mereka geluti juga ya jadi PSK tadi.”
Umumnya, PSK kala itu merupakan perempuan peranakan China-pribumi atau kiau seng, lantaran banyak pria China mengambil penari cokek pribumi sebagai simpanan dan beranak-pinak di Glodok.
Dalam tur “Tjerita di Pantjoran” tahun lalu, diceritakan bahwa Ji Lek Keng terkenal sebagai salah satu pusat red light district di Batavia. Rumah-rumah bordil di sana ramai didatangi prajurit VOC dan pedagang China yang mencari kehangatan di luar rumah mereka. Ditambah lagi, Mazzini menjelaskan kalau dulu di kawasan Glodok lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
“Dan kebanyakan orang-orang Eropa itu ketika dia pindah kan tidak membawa anak istri. Jadi orang-orang Eropa yang tinggal di sini mendesak Gubernur Hindia Belanda untuk mengadakan perempuan-perempuan pemuas nafsu, itu pun dipenuhi sama gubernur waktu itu,” ujarnya.
Selain prostitusi, candu adalah daya pikat utama di Ji Lak Keng. Asap candu mengepul dari lantai satu dan merangkak naik sebelum hilang di antara lantai kayu. Di luar 26 bangunan penjaja kenikmatan duniawi, musik gambang kromong mengalun dari sore hingga tengah malam menemani para tamu yang mabuk. Tak ayal dalam buku "Dari Batavia Menuju Jakarta", Fitri R. Ghozally menyebut Glodok sebagai “pusat peredaran candu di Batavia”.
Candu sendiri barang legal semasa Hindia Belanda. Hingga 1880, pajak perdagangan candu jadi penghasilan terbesar pemerintah. Kala itu, menurut keterangan dari pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen, satu dari 20 orang di pulau Jawa menghisap candu sebagai gaya hidup.
Di Ji Lak Keng, sambil menyesap candu dan menggodai PSK berbusana ala penari cokek, orang-orang juga bisa menyibukkan diri dengan berjudi sambil menenggak tuak. Dari situlah Glodok terkenal sebagai Las Vegas-nya Batavia, hingga era berganti dan pamor Glodok sebagai tempat hiburan kian redup.
“Mulai redupnya itu tahun 1970-an ya, kita udah merdeka. Waktu itu kan Gubernur Ali Sadikin juga melegalkan judi, prostitusi, semua disentralisasi,” cerita Mazzini. “Jadi disatukan di satu tempat namanya Kramat Tunggak. Semua lokalisasi dipindah ke Kramat Tunggak.”
Glodok, riwayatmu kini
Ketika saya dan Mazzini memasuki Gang Jelakeng kemarin, suasana tempat hiburan malam tak lagi berbekas. Glodok bukan lagi Las Vegas dan wajah para penghuninya jauh dari kata pecandu. Hanya tampak wajah-wajah pekerja yang kepanasan, lelah, dan penuh pengharapan.
Dari sekian banyak bangunan tua yang berjejer, hanya segelintir yang terlihat masih orisinil, di antaranya Toko Obat Lay An Tong di pojok Jl. Perniagaan Raya yang tak lagi menjual obat, melainkan berbagai peralatan dan mesin jahit.
Di pinggir jalan berjejer mobil-mobil boks dan truk yang bongkar muatan; kuli-kuli berlewatan membopong kardus, karung, dan gulungan plastik; dan gedung Pusat Grosir Perniagaan yang catnya rontok berdiri bersebelahan Gereja Kristen Indonesia.
Matahari belum sempurna di atas kepala, tapi panasnya sudah menyengat hingga tulang-tulang, dan perut kami mulai protes minta segera diisi. Glodok memang tak lagi menawarkan candu atau perempuan, tapi beruntung ia masih menyediakan banyak pilihan makanan.
Kami masuk ke salah satu gang yang dua bangunan depannya dihubungkan lorong kayu. Mazzini menunjuk ke atas, ia bilang mungkin itu dulu bekas tempat pelacuran dan judi. Namun, tak ada yang bisa memastikannya. Beberapa warga yang kami temui juga tak bisa menjelaskan rinci asal usul bangunan tua tadi. Yang kami tahu, gerobak bakmi yang dikelola Ci Rini di bawah lorong itu menyajikan semangkuk mie dengan taburan ayam besar-besar dan kuah kaldu yang nikmatnya tiada tara.