ERA.id - Sejak 17 tahun lalu, Sumarsih punya rutinitas baru saban Kamis. Ia berdiri depan Istana Negara sore-sore memakai baju serba hitam. Dulu rambutnya juga masih hitam, hingga satu per satu uban menggantikannya. Kini rambutnya sempurna putih, tetapi yang ia cari belum juga ketemu. Ia tak kunjung tahu siapa pembunuh anaknya dan keadilan tak kunjung datang.
“Saya disuruh memaafkan dan jangan dendam, tapi saya harus memaafkan siapa? Saya harus mendendam ke siapa?” kata Sumarsih.
Maria Catarina Sumarsih, begitu nama lengkapnya. Ia pindah ke Komplek DPR RI di Meruya, Jakarta Barat sekitar tahun 1988. Waktu itu, ia sudah diangkat jadi pegawai negeri sipil (PNS) tetap di sekretariat DPR dan bertugas mendampingi fraksi Golkar. Sekitar sepuluh tahun setelah kepindahannya, pada 13 November 1998, anak sulungnya ditembak mati aparat.
“Nama lengkapnya Bernardinus Realino Nurma Irmawan. Kuliahnya hanya sampai semester kelima karena meninggal dunia dalam Tragedi Semanggi I,” ucap Sumarsih. “Wawan meninggal dunia karena ditembak oleh aparat di halaman kampusnya ketika sedang menolong seorang korban yang juga ditembak oleh aparat.”
Bu Sumarsih menunjukkan kami foto Wawan yang dipakai pas pemakaman. Lalu ia mengambil lukisan Yesus berjudul “Ecce Homo” pemberian Kardinal Ignatius Suharyo.
“Ini bahasa Latin, artinya kira-kira ‘lihat manusia itu’,” terang Bu Sumarsih sambil menunjukkan bekas tusukan tombak di dada kanan Yesus.
“Kalau Wawan ditembak di dada sebelah kiri,” ucapnya. “Lubangnya hanya selebar sundut rokok, di pinggirannya ada luka bakar.”
Lalu Bu Sumarsih naik ke kamar Wawan. Ia turun membawa setenteng tas kertas dan kaus Tintin yang dipakai Wawan saat ditembak. Kami ditunjukkan bekas lubang kecil di dada kirinya dan bercak darah yang tak bisa dihapus.
Menurut hasil otopsi dr. Budi Sampurno, Wawan ditembak peluru tajam standar militer tepat mengenai jantung dan parunya. Waktu itu, setelah membedah jasad Wawan, dr. Budi bilang ke Bu Sumarsih, “Saya baru kali ini menemukan jenis peluru seperti ini.”
Dari dalam tas jinjing yang ia bawa, Bu Sumarsih mengeluarkan seabrek foto kenangan Wawan dan berbagai kartu identitas. Salah satunya kartu tanda relawan yang dipakai Wawan saat menerjang masuk ke kampusnya di Atmajaya untuk menolong seorang mahasiswa yang tertembak.
“Wawan ngeluarin bendera putih dari dalam tasnya yang katanya isi obat-obatan itu. Kemudian sambil melambai-lambaikan bendera putih, Wawan menghampiri korban, dan dia ditembak. Itu kesaksian yang saya dapat,” cerita Bu Sumarsih.
Hari-hari sebelum Wawan dibungkam
“Kalau Wawan marah, gampang membuat cair kemarahannya, bikin saja nasi goreng,” kenang Bu Sumarsih.
Ibu beranak dua itu mengingat Wawan sebagai anak jujur, doyan makan, suka membaca, dan peka dengan kondisi sekitar. Waktu mereka masih tinggal serumah, setiap pagi anak sulungnya itu selalu berseru dari tangga ke arah dapur.
“Ibu masak apa?”
“Coba cium, Ibu masak apa?” jawab sang ibu, lalu Wawan akan turun ke meja makan daripada lama menebak-nebak.
Kamar Wawan berada di lantai dua. Setelah ia pergi menuju Tuhan, kamarnya dipakai sebagai ruang berdoa. Di sana segala barang peninggalan Wawan disimpan: Baju-baju, buku-buku, hingga tas yang ia pakai terakhir kali. Tas itu tak pernah dibuka sejak 1998.
“Sampai sekarang belum bisa buka, saya belum kuat. Cuma saya tahu itu ada bau obat,” ujar Bu Sumarsih.
Wawan kuliah jurusan ekonomi di Universitas Atmajaya Jakarta. Bu Sumarsih menyebutnya pejuang reformasi dan demokrasi. Ia aktif mengadakan diskusi publik di gereja bersama teman-temannya dari Muda-Mudi Katolik. Ia pun bergabung dalam tim relawan untuk kemanusiaan dan aktif mengadvokasi keluarga korban Kerusuhan Mei 1998.
“Wawan pernah ke rumahnya Ita Martadinata yang diperkosa dan dibunuh. Dia juga menyiapkan pendirian posko tim relawan kemanusiaan di Jakarta Barat. Jadi, di masyarakat Wawan itu aktif untuk menjadi pembela hak asasi manusia,” ungkap Bu Sumarsih.
“Kadang-kadang juga ikut demonstrasi, bahkan menggerakkan teman-temannya ini jangan diam saja, karena pemerintahan pada saat itu tidak pro rakyat,” lanjutnya.
Dahulu Bu Sumarsih menghadapi situasi pelik. Anaknya adalah seorang aktivis mahasiswa, sementara ia sendiri bagian dari pemerintahan. Bolak-balik ibu dan anak itu berdiskusi di meja makan. Bu Sumarsih bilang Wawan harus mengerti kalau ibunya digaji negara, digaji Orde Baru.
Ia juga melarang anaknya ikut demo, bukan karena membela pemerintah, tetapi takut Wawan kenapa-kenapa.
“Ketika saya melarang demo, Wawan justru mengadakan seminar,” cerita Bu Sumarsih sambil ketawa. Meski begitu, Wawan tetap ngeyel sesekali turun aksi.
Bu Sumarsih lalu mendengar rumor kalau intel mulai disusupkan ke kampus-kampus. Suatu hari, Wawan sendiri bercerita ke ibunya bahwa namanya masuk daftar target Badan Intelijen Strategis (BAIS).
“Tadi ada teman Wawan yang intel, dia ngasih tahu, Bu, Wawan nomor satu dari lima orang yang akan dihabisin,” ucap Bu Sumarsih menirukan perkataan anaknya.
“Wah, kami ketakutan semua. Udah, udah, enggak usah kuliah, enggak usah kuliah. Nanti kuliah lagi, terusin lagi,” lanjutnya.
Wawan minta dikuliahkan keluar negeri. Namun, Bu Sumarsih tak punya uang.
“Kami kompromi ya, Wawan tidak boleh keluar karena sudah ada korban. Wawan boleh ke kampus kalau tugasnya nerusin bantuan masyarakat,” kenang Bu Sumarsih.
November 1998, ibu kota bergejolak. Transisi pemerintahan dari Soeharto ke Habibie tak berjalan mulus. Para mahasiswa menolak pemerintahan baru yang masih berbau Orba dan mendesak pembubaran dwifungsi ABRI. Sepanjang Sidang Istimewa DPR bulan itu, jalan-jalan Jakarta selalu dipenuhi demonstrasi mahasiswa setiap hari.
Tanggal 11 November, mahasiswa akhirnya bentrok dengan Pamswakarsa, kelompok sipil bersenjata tajam bentukan ABRI. Bentrokan itu berlanjut keesokan hari, ketika ratusan ribu mahasiswa tumpah ruah menuju Gedung DPR dari segala arah, tetapi berhasil dipukul mundur aparat gabungan. Ribuan mahasiswa terpaksa dievakuasi ke kampus Atmajaya.
Jumat, 13 November 1998, tentara melewati gerbang kampus setelah sebelumnya menembaki peserta aksi di luar. Wawan juga ada di sana sebagai relawan medis dan menyaksikan kebrutalan aparat.
"Kemudian ada korban jatuh, terus Wawan kasih tahu, ‘Pak, itu ada korban boleh ditolong atau tidak?’ Kata tentara itu boleh, silakan,” cerita Bu Sumarsih.
Wawan dibolehkan masuk ke pelataran kampus, tapi tak ada yang memberitahunya ia bakal ditembak di tempat. Setelah itu, sisanya tinggal sejarah. Wawan tewas bersama 16 warga sipil lain, di antaranya Ayu Ratna Sari, anak usia 6 tahun yang tertembak peluru nyasar di kepala.
Siapa pembunuh Wawan?
Bu Sumarsih bercerita, pada tanggal 30 November 1998, ada utusan pemerintah melalui Departemen Sosial menghadapnya. Utusan tadi bermaksud menyampaikan bantuan duka berupa cek senilai Rp5 juta.
“Saya, bapaknya Wawan, adiknya Wawan, mikirnya gini, diterima atau enggak ya? Kalau diterima untuk apa?” ucap Bu Sumarsih.
Utusan dari Departemen Sosial mendesak, “Saya melaksanakan tugas dari pemerintah melalui Ibu Menteri Sosial untuk menyampaikan bantuan duka untuk Wawan. Saya minta Mbak untuk menandatangani tanda terimanya.”
Bu Sumarsih pamit ke belakang. Ia berdoa, “Tuhan Yesus, tunjukkan saya apa yang seharusnya saya lakukan.”
Setelah mengambil jeda beberapa saat, ia kembali menemui utusan pemerintah. Keputusannya bulat. Ia mau menerima bantuan itu kalau ceknya juga diserahkan ke penembak Wawan.
“Susah nyarinya,” jawab sang utusan.
“Kalau susah, diberikan saja kepada prajurit TNI atau Polri yang bertugas di sekitar kampus anak saya pada hari Jumat, 13 November, sekitar jam 5,” balas Bu Sumarsih.
“Wah, susah nyari kesatuannya.”
“Kalau susah, berikan saja kepada 167 prajurit yang ditahan di Pangdam Jaya,” desak Bu Sumarsih. Sang utusan mengiyakan.
“Jadi nanti cek ini diberikan kepada siapa, saya juga minta tanda terimanya,” ujar Bu Sumarsih. “Dia oke, saya tanda tangan.”
Namun, janji tinggal janji. Bu Sumarsih tak pernah diberitahu kepada siapa cek itu disumbangkan. Secara bersamaan, ia tak pernah tahu siapa yang bertanggungjawab atas kematian anaknya. Negara selalu berusaha menutupinya dengan berbagai cara.
Saya bertanya, kalau pelaku ketemu, Bu Sumarsih akan memaafkan?
"Pertama, pengadilan harus jalan dulu. Pelaku kejahatan, dalam keyakinan saya, harus mendapat hukuman, " jawabnya. "Tapi, saya akan membelanya kalau ia dijatuhi hukuman mati. Saya tidak mau mata dibalas mata."
Bolak-balik pemimpin berganti, bagi Bu Sumarsih penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat malah mundur. Aktor-aktor yang diduga kuat bertanggung jawab dalam banyak kasus bukan hanya kebal hukum, tapi juga terus menduduki jabatan penting. Mulai dari mantan Panglima ABRI (Pangab) Wiranto hingga mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) Prabowo.
Nama terakhir itu malah selangkah lagi menang pemilu. Bu Sumarsih geleng-geleng kepala mengetahui orang yang ia anggap sebagai penculik bakal jadi presidennya. Apalagi Rabu (28/2/2024) kemarin, Prabowo baru saja diangkat istimewa jadi Jenderal Bintang 4 oleh Presiden Joko Widodo.
"Harusnya keppres (keputusan presiden) itu dicabut, kenaikan pangkat istimewa Prabowo dibatalkan," kata Bu Sumarsih. Ia mengingatkan bahwa Prabowo diduga kuat sebagai dalang penculikan aktivis 1998.
Ironisnya, ada korban penculikan yang justru bergabung dalam gerbong Prabowo. Bu Sumarsih lalu menyebut nama Budiman Sudjatmiko. Ia mengenang bahwa Budiman pernah berterima kasih kepada bapaknya Wawan.
"Saya lupa kapan, tapi Budiman sempat berterima kasih. Katanya, kalau bukan karena Wawan, dia enggak dibebaskan," cerita Bu Sumarsih.
17 Tahun Aksi Kamisan
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Wiji Tukul menulis bait-bait puisi tadi saat masa pelariannya sebelum diculik dan hilang. Penguasa diandaikan serupa tembok, sementara rakyat tertindas adalah bunga yang tak dikehendaki tumbuh. Bunga-bunga dalam puisi Tukul tentu termasuk Wawan.
“Saya ini ditakdirkan punya dua anak. Yang satu mati ditembak, yang satu ngurusi ibunya sampai tua,” kata Bu Sumarsih.
Hari ini ia hanya tinggal bertiga dengan suaminya, Arief Priyadi dan adik Wawan, Benedicta Rosalia Irma Normaningsih. Jantung Pak Arief kini sudah dipasang alat pacu, sedangkan Irma memilih bekerja sebagai marketing di Gramedia.
Bu Sumarsih pensiun dari sekretariat DPR pada 2008. Ia sempat menawari Irma untuk mengisi slot yang ia tinggalkan, tetapi langsung ditolak. Waktu ditanya alasannya, Irma menjawab singkat, "Itu sarang koruptor."
Setahun sebelum pensiun, pada 18 Januari 2007, Bu Sumarsih memulai aksi protes di depan Istana Negara yang kelak populer dengan nama Aksi Kamisan. Lokasi itu dipilih sebagai simbol kekuasaan. Sementara Kamis dipilih karena hari lain pada sibuk.
"Kalau Senin, ada yang bilang hari pertama kerja biasanya banyak kerjaan. Selasa ada konvoi sepeda untuk Munir. Rabu ada yang kuliah. Jumat hari pendek. Ya sudah Kamis," cerita Bu Sumarsih.
Dulu ia tak membayangkan Aksi Kamisan bakal awet. Karena yang sudah-sudah, aksi semacam itu lama-lama mati suri. Waktu pertama kali mengusulkan, Bu Sumarsih bertanya kepada orang-orang yang ikut rapat, "Bubarnya kapan aksi ini?"
Istri almarhum Munir, Suciwati dan anggota KontraS, Yati Andriyani menyemangati Bu Sumarsih. "Nanti ada kami Bu."
"Ya sudah, jadi nanti kalau tinggal tiga orang pesertanya, tidak usah dilanjutkan," ucap Bu Sumarsih.
Siapa sangka hingga Kamis, 29 Februari 2024, pesertanya tak pernah kurang dari tiga orang. Kamis kemarin menandai Aksi Kamisan ke-807 dan pesertanya kian ramai.
"Sudah 17 tahun, lama juga ya?" celetuk Bu Sumarsih saat menuju makam Wawan di TPU Joglo, Jakarta Barat. "Aksi Kamisan itu cara kami bertahan untuk berjuang, membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan impunitas, dan menolak lupa."
Karena itu juga, Bu Sumarsih menolak penyelesaian non-yudisial seperti tertera dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2022. “Alasan saya menolak, itu mengarah pada impunitas untuk memberikan perlindungan kepada para penjahat HAM,” tegasnya.
Tahun 2014 silam, sempat Bu Sumarsih menyangka Aksi Kamisan akan segera berakhir. Joko Widodo membawa harapan baru kepada keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Janji-janjinya bikin terlena, termasuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer sebagai komitmennya menghapus impunitas dalam sistem hukum nasional.
Setelah jadi presiden, Jokowi malah mengangkat Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menko Polhukam) pada 2016. Saat itu kepercayaan Bu Sumarsih padam.
"Pak Jokowi itu betul-betul seorang pengkhianat reformasi dan demokrasi," ucapnya getir.
Tahun demi tahun, semakin jauh harapan Bu Sumarsih. Waktu peserta Aksi Kamisan dipanggil Jokowi ke Istana pada 2018, presiden menolak menandatangani Surat Pengakuan Negara dari Bu Sumarsih.
"Katanya, dia tidak bisa langsung tanda tangan, harus baca-baca dulu. Saya diminta berkomunikasi lebih lanjut dengan Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan," ujar Bu Sumarsih. Padahal, Moeldoko diduga terlibat dalam peristiwa Paniai Berdarah tahun 2014.
"Itu pertemuan saya pertama dan terakhir kali dengan Jokowi."
Selesai bercerita, mobil yang kami tumpangi sampai di TPU Joglo. Bu Sumarsih menuntun ke makam Wawan. "Itu dia," serunya sambil melirik pusara berkeramik hitam. "Dulu saya ke sini tiap hari. Habis bapaknya Wawan pasang alat pacu jantung, sekarang cuma tiap Sabtu atau Minggu."
Di makam itu, Bu Sumarsih biasa mendaraskan Doa Rosario untuk Wawan. Namun, sore itu ia tak sempat berlama-lama temu kangen dengan anaknya. Jam hampir menunjuk angka 4, ia harus segera bergegas menuju Aksi Kamisan yang sudah dimulai sejak pukul 15.00 WIB.
Kami memesan taksi online dan menunggu nyaris 10 menit. Dalam perjalanan menuju Istana Negara, Bu Sumarsih bercerita ia memilih golput pada 14 Februari lalu. “Saya coblos semua, biar tidak disalahgunakan.” Menurutnya, tak ada yang benar-benar berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
Ia juga mengenang Aksi Kamisan semasa SBY dulu agaknya lebih mending ketimbang sekarang. Dulu, masih ada satu-dua utusan dari Istana mendatangi peserta aksi.
“Kadang-kadang mereka itu datang ke tempat aksi itu ngirim surat dari Istana, itu zamannya Pak SBY. Kalau zamannya Pak Jokowi sama sekali tidak,” kenang Bu Sumarsih.
Para polisi yang menjaga aksi juga sebetulnya baik-baik, ungkapnya. “Selama tidak ada arahan khusus dari atasan.”
Saya banyak mendengar kisah-kisah seputar Aksi Kamisan yang tak pernah saya ketahui dari Bu Sumarsih. Misalnya, pengiriman surat ke Istana tiap minggu idenya justru dari polisi, dan beberapa polisi diam-diam berterima kasih ke peserta aksi karena merasa suaranya terwakili.
“Tapi ya ada aja yang rese,” sambung Bu Sumarsih.
Sesampainya di lokasi, belasan wartawan menyambut Bu Sumarsih yang baru keluar mobil. Sementara puluhan peserta lain berdiri melingkar mendengar refleksi. Bu Sumarsih diam beberapa saat sambil memegang payung hitam menghadap Istana. Ia membiarkan kamera menangkap punggungnya yang kian menyusut. Selang beberapa menit, ia ikut membaur dengan para peserta yang kebanyakan masih muda.
“Banyak anak-anak muda yang mendukung perjuangan kami. Bahkan harapan kami, Aksi Kamisan ada di tangan anak-anak muda, bukan di tangan kami keluarga korban,” pesan Bu Sumarsih sebelum menutup Aksi Kamisan ke-807.