"Berdasarkan pola deformasi pada peta, para ilmuwan menyimpulkan pergeseran bidang patahan akibat gempa terjadi pada patahan di bawah bagian barat laut Pulau Lombok dan menyebabkan kenaikan permukaan daratan sampai 10 inci (25 sentimeter)," demikian dimuat di situs Disaster.nasa.gov, Rabu (15/8/2018).
Dijelaskan, peta deformasi ini dihasilkan dari pemrosesan interferometrik otomatis dari data SAR (radar) menggunakan sistem data ARTI JPL (Jet Propulsion Lbaratory)-Caltech sebagai tanggapan terhadap sinyal yang diterima USGS.
Adapun pergerakan tanah di Lombok Utara yang menjadi episentrum gempa mencapai enam mil atau 10 kilometer (km) di bawah permukaan. Perubahan kenaikan permukaan tanah ini terjadi hampir di seluruh wilayah Lombok setelah gempa.
(Citra satelit NASA pasca gempa Lombok)
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, hingga 15 Agustus 2018, telah terjadi 663 kali gempa susulan, beberapa di antaranya dirasakan kuat oleh masyarakat.
Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, gempa susulan masih akan terjadi hingga beberapa bulan ke depan dengan kecenderungan getaran semakin melemah secara fluktuatif.
"Kami tetap mengimbau agar warga tetap tenang, namun waspada. BMKG secara terus menerus memantau perkembangan kegempaan ini selama 24 jam dan menginformasikannya kepada masyarakat," kata Dwikorita dalam keterangannya.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah kerugian materiel dari gempa 7 Skala Richter (SR) yang terjadi di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai Rp5,04 triliun.
Dengan ribuan orang menjadi korban. Di mana korban meninggal dunia sebanyak 436 orang. Lalu, korban luka-luka mencapai 1.353 orang, di antaranya 783 orang luka berat dan 570 orang luka ringan. Korban luka-luka paling banyak terdapat di Lombok Utara sebanyak 640 orang.