Hal itu berkenaan dengan sikap MA yang masih menunggu putusan MK soal UU Pemilu untuk bisa mengeluarkan hasil gugatan PKPU yang sedang diuji di MA.
"Sebetulnya Mahkamah Agung tidak harus menunggu putusan MK. walaupun UU Pemilu memang diuji di MK, tapi yang diuji di MK itu tidak ada kaitan norma dengan (PKPU) yang diuji di MA," ujar Fajar saat dihubungi, Kamis (6/9/2018).
Kata Fajar, sebenarnya materi yang diuji di MK tidak ada hubungannya dengan materi yang diuji di MA. Jadi, putusan MK tidak memberikan pengaruh apapun pada PKPU.
"Putusan MK tidak berpengaruh apapun, orang normanya enggak ada kaitannya kan. Yang ini (MK) memutus presidential threshold, di sana (MA) soal napi korupsi, kan enggak ada hubungannya," sebutnya.
Meski demikian, Fajar bilang bahwa sejak awal norma yang melarang eks napi korupsi jadi caleg memang inisiatif sendiri dari KPU meskipun dalam UU tidak diatur.
"Dia mengajikan proses legislasi, katakanlah mentok. kemudian dia ambil jalur melalui Perppu, mentok. kemudian dia membuat inisiatif untuk memasukkan norma itu ke PKPU. itulah yang menjadi sumber polemik. Kalau dalam hierarki norma kita, yang pasti pembatasan hak asasi manusia, itu hanya boleh melalui UU," jelas Fajar.
Pengaturan pelarangan eks napi koruptor mencalonkan diri itu, lanjut Fajar, bertentangan dengan putusan MK juga.
"Ada putusan MK napi koruptor itu ketika mereka sudah menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukan, katakanlah 5, 10, 15 tahun itu sudah merupakan proses dalam tanda kutip menebus dosa kesalahannya itu kan. ketika sudah menjalani hukuman, ketika mereka keluar, posisinya sama dengan warga negara yang lain," ucap dia.
"MK hanya mempersyaratkan Napi koruptor boleh saja mencalonkan diri dalam jabatan yang apa namanya dipilih sepanjang dia sudah men-declare kepada pemilihnya bahwa dia adalah mantan napi korupsi. setelah men-declare itu maka dia sudah memenuhi syarat," tambahnya.