ERA.id - Pada Senin (14/8/2023) malam, kawasan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung mencekam. Bentrok terjadi antara warga dan polisi setelah Polrestabes Bandung menolak laporan masyarakat terkait dugaan penipuan dan pemalsuan data.
Laporan tersebut berkaitan dengan sengketa tanah di Dago. Tak ayal, hal ini mengundang rasa penasaran masyarakat mengenai asal-usul Dago.
Pemicu Konflik di Dago Elos
Warga Dago Elos melakukan blokade jalan mulai pukul 21.00 WIB. Menurut keterangan salah satu warga Dago Elos, Rizkia Puspania, sebelumnya warga dan kuasa hukum datang ke Polrestabes Bandung guna melaporkan dugaan penipuan kepada warga Dago Elos.
Warga tiba di Polrestabes Bandung pukul 10.20 WIB, tetapi baru boleh masuk pukul 11.45 WIB. Pelapor terdiri atas empat orang, yaitu tiga perempuan dan satu laki-laki didampingi sejumlah kuasa hukum.
"Kita ingin laporan terkait dugaan pemalsuan data dan penipuan dari keluarga Muller yang mengaku keturunan Ratu Wilhelmina dan menguasai tanah di wilayah Dago dengan surat eigendom verponding atau hak milik terhadap suatu tanah," terang Rizkia, Senin (14/8/2023) malam, seperti dilansir Tribun Jabar.
Warga pun menunggu di lokasi dalam waktu yang lama. Mereka menantikan keputusan dari pihak kepolisian hingga sekitar 19.30 WIB. Sayangnya, hasil tidak seperti yang diinginkan. Kepolisian hanya melakukan pemeriksaan acara wawancara (BAW), bukan berita acara pemeriksaan (BAP).
"Laporan kami ditolak polisi, padahal semua data-data, bukti-bukti sudah tercantum, alasannya karena bukti tidak cukup. Alasan lainnya, ingin ada salah satu pelapor yang memiliki sertifikat tanah. Itu kan konyol, kalau mau bilang dari siang, kita sudah delapan jam," jelasnya.
Asal-usul Dago di Kota Bandung
Sengketa tanah jadi latar belakang konflik di Dago, Kota Bandung, Jawa Barat. Hal tersebut merangsang rasa penasaran masyarakat terkait asal-usul Dago.
Dikutip Era.id dari situs resmi Bandung Sadayana, nama Dago sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Nama ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat kawasan Bandung bagian utara untuk saling menunggu sebelum pergi ke kota. Kenapa mereka saling menunggu?
Dikisahkan, pada masa kolonial, masyarakat di kawasan Bandung bagian utara harus melewati jalan setapak dan hutan untuk pergi ke pasar di kota. Jalan tersebut rupanya penuh ancaman karena masih dikuasai oleh para perampok dan binatang buas, utamanya daerah hutan yang saat ini jadi Terminal Dago.
Ini bukan hal yang mengerankan. Berdasarkan beberapa literasi, pada zaman dahulu Kota Bandung masih dihuni oleh banyak badak dan harimau.
Demi mencapai pasar di kota, warga setempat kemudian bepergian dalam kelompok yang terdiri atas beberapa orang agar tetap aman. Jika kelompok belum terbentuk, mereka akan saling menunggu hingga terbentuk kelompok untuk pergi ke kota bersama.
Kegiatan saling menunggu ini kemudian menjadi kebiasaan masyarakat di kawasan tersebut saat akan pergi ke kota. Dalam bahasa Sunda, dagoan memiliki makna menunggu. Oleh sebab itu, kawasan tersebut kemudian diberi nama Dago.