Pengamat: Petahana Harus Piwai Tangkap Isu Sensitif

| 18 Oct 2018 22:03
Pengamat: Petahana Harus Piwai Tangkap Isu Sensitif
Diskusi Voxpol Center, 4 Tahun Jokowi. (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menyebut, saat ini pemerintah tidak cukup hanya mengejar program kerja yang bagus, namun juga harus mampu menangkap isu sensitif. Menurutnya, jika isu sensitif tidak diatasi maka akan berpengaruh terhadap elektabilitas petahana.

"Pemerintahan Jokowi, walaupun programnya bagus namun tidak mampu membaca sentimen sense of politic atau isu sensitif yang digulirkan lawan politiknya jelang Pemilu ini, akan bisa mengganggu elektabilitasnya," tutur Pangi dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (18/10/2018).

Pangi bilang, pertarungan pilpres masih sangat kompetitif dan dinamis. Oleh karena itu, jelang Pemilu tahun depan, pemenangnya masih sulit diprediksi. "Untuk kemenangan Pilpres ini tidak semudah kita lihat. Apalagi, ini masih 6 bulan ke depan, masih panjang. Jadi satu hari saja itu isu cuaca politik bisa berubah," kata dia.

Pangi mengambil contoh kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Kala itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang merupakan seorang petahana melawan Anies Baswedan. Meski Ahok terlah terlihat hasil kerjanya di DKI, ia tetap dikalahkan oleh isu sentimen agama.

"Pak Anies enggak ada kerja dulu, prestasinya enggak ada. Dia cuma menjual imajinasi retorika, menjelaskan apa yang menjadi maunya ke depan, tapi belum melakukan apa-apa. Tapi kalau Pak Ahok kan sudah melakukan tapi faktanya karena ada isu," ucap dia.

Sependapat, Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mempertanyakan kinerja Anies Baswedan dalam memimpin sebagai Gubernur DKI Jakarta yang hampir 1 tahun. Dia menganggap kinerja mantan Mendikbud RI itu kurang memuaskan.

Menurut data, lanjut Eva, indeks demokrasi Indonesia di mata internasional anjlok 20 poin gara-gara peristiwa di Pilkada DKI Jakarta. Karena itu, dia menginginkan pada pemilihan presiden kali ini kejadian tersebut tak lagi terulang.

Salah satu kampanye negatif yang dilontarkan kubu lawan yakni terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada awal kepemimpinan Joko Widodo pada 2014 lalu, pemerintah berjanji menciptakan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Namun, saat ini pemerintah targetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2019.

Eva menjelaskan mengapa saat itu Jokowi menargetkan 7 persen, karena berdasarkan asumsi harga yang telah diperhitungkan. Menurutnya, ketika asumsi itu tidak tercapai, maka dianggap aneh kalau tetap menuntut 7 persen. Hal tersebut dimaklumi karena tercapainya 7 persen itu berdasarkan faktor eksternal yang tidak terkontrol.

"Jadi ini upayanya sudah ada, tapi tidak ada motif untuk menipu. Ini negatif campaign yang tidak mutu kalau kemudian tidak melihat kinerja yang ada di Pak Jokowi, dan tidak merasa bahwa target 7 persen ini berdasarkan asumsi," jelas Eva.

Rekomendasi