Perlunya Terapi Hiperbarik untuk Tim Penyelam

| 05 Nov 2018 14:30
Perlunya Terapi Hiperbarik untuk Tim Penyelam
Sejumlah penyelam lakukan terapi hiperbarik di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. (Wardhany/era.id)
Jakarta, era.id - Untuk mencegah penyakit dekompresi terhadap penyelam yang melakukan pencarian terhadap penumpang dan pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, mengimbau agar para penyelam melakukan terapi hiperbarik.  Terapi ini bisa dilakukan sebelum para penyelam melakukan tugasnya.

"Terapi oksigen hiperbarik ini aplikasinya bisa dilakukan sebelumnya yang bersangkutan menjalankan penugasan dan bisa dilakukan setelah beberapa kali penyelaman. Tujuannya mencegah penyakit dekompresi," kata Penanggung Jawab Pelaksana Terapi Oksigen Hiperbarik AKBP Karjana dalam konferensi pers di RS Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018).

Baca Juga : Mengenal Kondisi Dekompresi yang Menyerang Penyelam

Karjana memaparkan, penyakit dekomprasi bisa saja dialami oleh penyelam yang melakukan penyelaman secara terus menerus. Sehingga, berdasarkan SOP, setiap penyelam diwajibkan melakukan terapi tersebut. Apalagi dekompresi ini bisa berakibat penyumbatan pembuluh darah, penyumbatan organ vital, bahkan paling parah adalah kematian.

Hingga saat ini, Karjana juga menyebut sudah 19 penyelam dari Polri dan ikut dalam misi evakuasi penumpang dan pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang beregistrasi PK LQP yang menjalankan terapi hiperbarik di RS Polri, Kramat Jati ini.

Sebagai penanggung jawab terapi tersebut, Karjana mengingatkan agar para penyelam dapat melakukan SOP tersebut sebelum bertugas. Apalagi proses terapi hiperbarik itu tak dipungut biaya.

"Sehubungan dengan adanya satu korban relawan, kami mengimbau tak terkecuali seluruh penyelam baik relawan, TNI atau Polri kami menyarankan setelah kegiatan penyelaman diharapkan untuk preventif untuk melakukan terapi hiperbarik," ungkapnya.

Ruangan hiperbarik. (Wardhany/era.id)

Proses terapi hiperbarik yang dilakukan penyelam

Karjana menjelaskan, terapi hiperbarik ini dilakukan selama dua jam. Nantinya, para pasien akan dimasukan ke dalam ruang udara bertekanan tinggi. 

"Setelah itu nanti oleh petugas chamber akan di arahkan sesuai SOP berlaku. Pasien itu akan melakukan beberapa tahapan. Sebelumnya, pasien di bawa ke kedalaman tertentu atau atmosfer tertentu. Jadi secara bertahap akan dibawa ke satu atmosfer. Sesuai kebutuhannya," kata Karjana.

Namun, sebelum menjalani proses tersebut, para penyelam yang datang ke RS Polri diminta memeriksakan kesehatannya terlebih dahulu, termasuk melakukan rontgen dan rangkaian pemeriksaan lainnya. 

"Kemudian kita lakukan pemeriksaan medis umum terkait yaitu pemeriksaan keadaan umum, pemeriksaan vital sains, pemeriksaan laboratorium sederhana, pemeriksaan penunjang, dan paling penting pemeriksaan THT dan radiologi. Setelah itu hasilnya kita analisis apakah yang bersangkutan memenuhi syarat atau tidak," ungkapnya.

"Kalau tidak kita tunda sampai 2-3 hari sampai bs melakukan terapi hiperbarik," imbuh Karjana.

Baca Juga : Duka untuk Syachrul Anto, Penyelam Potensi SAR

Supaya kalian tahu, penyakit dekompresi menyebabkan Syachrul Anto meninggal saat bertugas di Perairan Karawang, Jawa Barat, Jumat (2/11). Penyakit ini dapat mempengaruhi penyelam atau orang lain (seperti penambang) yang berada dalam situasi yang melibatkan tekanan cepat penurunan suhu tubuh atau dekompresi.

Dilansir dari alodokter.com, penyakit dekompresi adalah gangguan yang biasanya dialami oleh penyelam, dengan gejala berupa pusing, tubuh terasa lemas, hingga sesak napas. Kondisi ini muncul ketika tubuh merasakan perubahan tekanan air atau udara yang terlalu cepat, sehingga nitrogen dalam darah membentuk gelembung yang menyumbat pembuluh darah dan jaringan organ.

Penyakit dekompresi merupakan dampak perubahan tekanan, baik air atau udara, yang terjadi terlalu cepat. Misalnya ketika menyelam, penyakit dekompresi akan muncul jika proses kembali menuju ke permukaan tidak dilakukan secara bertahap, atau tanpa menerapkan safety stop (berhenti beberapa menit di kedalaman tertentu) sesuai aturan dasar keselamatan menyelam.

 

Rekomendasi