Memang, ada dilema yang membuat KPU tidak mudah dalam membuat keputusan. Pada satu sisi, putusan MK jelas menyebut larangan kepengurusan parpol itu berlaku sejak 2019. Pada konteks yang berbeda, frasa keberlakukan itu dibatalkan oleh MA.
Namun, ada usul yang dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini yaitu, KPU sebagai pihak yang harus melaksanakan putusan PTUN juga bisa melaksanakan putusan MK dengan mengubah konteks keberlakuan.
"KPU bisa buat syarat dalam pelantikan DPD yang terpilih nanti, syaratnya harus mundur dari pengurus parpol. Maka, KPU mengubah posisi normanya dari persyaratan pencalonan menjadi persyaratan pelantikan calon terpilih," jelas Titi kepada wartawan, Kamis (15/11/2018).
Pengesahannya, lanjut Titi, bisa diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) soal penetapan hasil pemilu dan penetapan calon terpilih anggota DPD periode 2019-2024.
"Persyaratan untuk bisa dilantik adalah bukti surat pemberhentian sebagai pengurus. kalau dia tidak menyerahkan surat pemberhentian maka dia tidak bisa diajukan untuk pelantikan calon terpilih. Karena jelas putusan MK melarang anggota DPD yang berstatus anggota parpol. Tidak boleh mengabaikan putusan MK," ujar dia.
Merujuk kepada dikabulkannya gugatan OSO di PTUN, mau tidak mau KPU karus menambahkan nama ketua umum Partai Hanura tersebut dalam daftar calon tetap (DCT)
"Mau tidak mau dia harus masuk DCT, dia nomor urut terakhir. khusus untuk DCT kalau ada calon baru maka dia mengambil nomor urut terakhir," ungkapnya.
Baca Juga : Ketua RT Dilarang Mobilisasi Warga di Pilpres 2019