View this post on Instagram
View this post on Instagram
Sebagai gerombolan laki-laki yang sejak lama berkomitmen pada kemajuan karier dan pendidikan Yuyun (panggilan sayang dari kami) kami akan membantu dia untuk menentukan pilihan. Dan sebenarnya bukan cuma untuk Maudy, sebab informasi yang kami kumpulkan dari berbagai sumber ini nyatanya juga bakal berguna buat kamu-kamu semua yang berniat ngampus di luar negeri.
Yang kami tahu, Maudy yang baru menyelesaikan studi S1 di Oxford, Inggris ini memang sejak lama bermimpi untuk kuliah di Harvard. Dalam salah satu unggahan di Instagramnya itu, dara 24 tahun itu mengungkap: Rasanya nyata, dan saya dibawa kembali ke momen dua tahun yang lalu, ketika saya berjalan menaiki tangga yang terkena hujan, menuju patung John Harvard.
"Turis dan pengunjung harus berbaris untuk mengabadikan momen mereka bersama patung (John Harvard) itu ... Sambil menunggu giliran (foto), saya melihat sekeliling, bangunan di sekitarnya, terpesona oleh aura menakutkan yang berasal dari Harvard. Bahkan dalam kelembaban dan hujan, saya tertarik pada batu bata merahnya dan janji untuk belajar yang ditawarkannya," tulis Maudy.
Ilustrasi Maudy Ayunda dipersembahkan Mahesa/era.id
Maudy mau yang mana?
Kegalauan Maudy jelas beralasan. Ini bukan kegalauan netizen-netizen kacrut yang bingung mau nge-chat gebetan duluan atau enggak. Atau netizen misqueen yang bingung harus menyisihkan uangnya buat makan siang atau makan malam. Ini lebih pelik. Dan bermartabat, tentunya.
Jadi, ada sebuah survei yang dilakukan Princeton Review, survei yang barangkali bisa membantu Maudy menentukan pilihannya. Dalam survei yang dilakukan tahun 2015 ini, terungkap Stanford adalah pilihan kampus pertama bagi orang tua dan anak di Amrik.
Sementara Harvard, kampusnya Barack Obama, Mark Zuckerberg, Bill Gates, hingga gitaris kece Rage Against the Machine (RATM), Tom Morello itu berada satu tingkat di bawah Stanford.
Dalam survei yang sama, Stanford disebut-sebut sebagai kampus yang menjamin peningkatan kreativitas dan derajat mahasiswanya dalam memahami dunia. Bahkan, survei ini juga menyebut para mahasiswa Stanford akan menjadi penduduk dunia intelek yang mampu hidup dengan passionnya.
Soal persaingan, pada tahun survei dilakukan, Stanford hanya menerima 2.144 mahasiswa dari total 42.487 atau 5,05 persen mahasiswa yang melamar. Survei yang dilakukan kepada calon-calon mahasiswa tahun ajaran 2019 itu menunjukkan betapa persaingan di Stanford memang lebih tinggi dari Harvard. Di Harvard, persaingan enggak seketat di Stanford. Harvard menerima 5,3 persen dari total 37.305 pelajar yang mendaftar.
Mimpi kuliah di luar negeri
Ada banyak jalan menuju Harvard. Begitu kira-kira narasi artikel yang ditulis Kompas pada 2013 silam. Dalam tulisannya, Kompas mewawancarai seorang mahasiswa program Master of Public Administration di Kennedy School of Government di Harvard. Donny Eryastha namanya. Intinya, Donny berpesan, meski jelas akan mahal untuk kuliah di luar negeri, termasuk Harvard, yang jelas jangan pernah berhenti berusaha.
Entah bagaimana dengan Maudy. Yang jelas, umumnya masyarakat Indonesia akan berfokus memburu beasiswa untuk mewujudkan mimpi sekolah di luar negeri, termasuk Harvard. Padahal, begitu banyak jalan untuk kuliah di luar negeri selain jalur beasiswa. Dan asal kamu tahu saja, beasiswa nyatanya bukan sebuah pilihan yang selalu bijaksana. Donny bilang, ada sejumlah kerugian bagi mereka yang terlalu fokus pada perburuan beasiswa.
Pertama, terlalu fokus pada perburuan beasiswa akan membuat pelajar mengkompromikan kualitas pendidikan. Maksudnya, mau di luar negeri ataupun di dalam negeri, akan selalu ada kampus yang memang kece, kampus yang B alias biasa-biasa saja, hingga kampus yang kualitasnya abal-abal. Nah, pelajar-pelajar yang berfokus pada slot beasiswa biasanya akan berpikir: kampus apa sajalah, yang penting di luar.
Pemikiran-pemikiran macam itulah yang menurut Donny lumayan sesat. Padahal, bagaimanapun, yang terpenting dalam memilih kampus adalah kualitas pendidikan yang dibawa masing-masing kampus. Soal itu, Donny kasih tips. Dia bilang, cobalah daftarkan dirimu ke kampus manapun yang kamu mau. Nantinya, di tiap-tiap kampus tersebut, kamu bisa mencari jalur-jalur beasiswa mandiri yang memang disediakan masing-masing kampus. Jadi, cari kampusnya dulu, baru beasiswanya. Jangan terbalik.
Kerugian lain yang biasanya terjadi pada pelajar pemburu beasiswa adalah kegagalan akibat enggak pasnya periode aplikasi sejumlah beasiswa dengan periode aplikasi yang ditetapkan oleh kampus-kampus di luar negeri. Kita ambil contoh beasiswa yang paling umum dikenal orang-orang Indonesia, yaitu Chevening. Aplikasi Chevening umumnya dibuka pada periode Oktober hingga Desember.
Nah, para pelajar yang mendaftar dalam periode tersebut biasanya akan dapat pengumuman hasil aplikasinya pada bulan Maret di tahun setelah ia mendaftarkan aplikasinya. Tenggat waktu penyelenggaraan beasiswa itu lah yang kemudian kerap membuat banyak pelajar Indonesia gagal mendapat kursi di kampus-kampus kece.
Di Inggris, misalnya. Rata-rata kampus di negeri itu mulai menerima aplikasi pada bulan September. Kemudian, pada Januari, sebagian besar kursi di kampus-kampus terbaik seperti Oxford, Cambridge, atau London School of Economics akan mulai diisi. Nah, terus bagaimana tuh nasib para pemburu beasiswa Chevening yang masih menunggu pengumuman di bulan Maret?
Donny mengaku paham betul, bahwa biaya kuliah di luar negeri memang mahal banget. Dan beasiswa, jelas jadi solusi paling masuk akal. Tapi, kondisi di atas itu nyatanya memang kerap membuat mimpi para pelajar Indonesia untuk kuliah di luar terkubur. Tapi, kembali lagi, kalau perkaranya memang di antara uang dan mimpi, maka pilihlah mimpi. Sebab, sesungguhnya banyak cara membiayai kuliahmu selain dari jalur beasiswa.
"Saya tidak pernah mengatakan ‘jangan cari beasiswa’. Beasiswa tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan kuliah di luar negeri. Yang saya katakan adalah fokuslah untuk dapat diterima di sekolah yang baik, dan usahakanlah berbagai sumber pembiayaan, termasuk dengan melamar secara strategis ke beberapa beasiswa," kata Donny.
Selain jalur beasiswa mandiri yang bisa kamu dapatkan dari masing-masing kampus, kamu tentu saja bisa membiayai hidup dan kuliahmu dengan cara yang lebih berani, seperti kerja paruh waktu, misalnya. Selain kerja paruh waktu, kamu juga bisa memanfaatkan pinjaman alias student loan. Saat ini, begitu banyak jenis student loan yang bisa kamu manfaatkan. Beberapa student loan bahkan menawarkan sistem pinjaman di mana pelajar dapat mulai mencicil pinjamannya ketika ia lulus dan mulai bekerja.
"Tidak semua orang yang kuliah di luar negeri tanpa beasiswa itu kaya raya. Mahasiswa asal Cina, India, dan Amerika Serikat sendiri berani mengambil pinjaman karena mereka tahu penghasilan mereka setelah lulus akan bisa meningkat signifikan. Anehnya, banyak calon mahasiswa Indonesia yang hanya berani menunggu beasiswa, entah sampai kapan, untuk mau kuliah."
"Padahal, orang-orang yang sama ini berani mengambil pinjaman untuk membeli harta seperti rumah atau mobil yang tidak akan meningkatkan potensi pendapatan mereka."
RekomendasiPopular
1Gerindra Marah Lihat Bupati Aceh Selatan Umrah Usai Ngeluh Tak Sanggup Tangani Bencana
06 Dec 2025 07:492Prabowo Klaim Pemerintah Kerja Cepat Atasi Bencana tapi Warga Tamiang Berkata Sebaliknya
06 Dec 2025 07:073Saat Dua Elite Saling Puji di HUT Golkar: Prabowo Semringah, Bahlil Tertawa Tepuk Paha
06 Dec 2025 06:044