Jakarta, era.id - Kampanye rapat umum atau terbuka telah berjalan selama enam belas hari, dari 24 Maret hingga 13 April. Lebih dari dua minggu, masing-masing kubu capres-cawapres nomor urut 01 maupun 02 semakin gencar.
Terpantau, mereka saling tanding banyak-banyakan jumlah massa yang digalang untuk menyukseskan kampanye terbuka ini. Tapi, apa benar kampanye terbuka mampu mendongkrak tingkat elektabilitas kandidat?
Mari kita lihat data. Dari hasil survei Voxpol Center Research and Consulting menunjukan bentuk kegiatan kampanye yang disukai/diinginkan pemilih, yang paling dominan adalah dialog tatap muka/interaktif dengan kandidat sebesar 51,6 persen.
Model kampanye terbuka dengan pengerahan massa malah disukai oleh sebesar 10.8 persen pemilih. Direktur eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menyebut karena kampanye terbuka tidak terlalu disukai pemilih, maka cenderung di mobilisasi dan pengaruhnya juga tidak terlalu signifikan.
Lagi pula, lama waktu kampanye terbuka lebih banyak dipakai sebagai hiburan rakyat, sementara orasi politik capres-cawapres paling lama hanya satu jam. Pangi bilang, kampanye gaya usang ini sepertinya tidak akan efektif. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan.
"Pertama, hanya untuk gagah-gagahan/show of force. Kampanye terbuka seringkali digunakan sebagai ajang gagah-gagahan dan unjuk kekuatan," kata Pangi kepada era.id, Senin (8/4/2019).
Alasan lain, lanjut Pangi, pemborosan anggaran. Dana segambreng dikeluarkan dalam model kampanye semacam ini. Malah, kadang-kadang tidak punya korelasi positif dengan semakin luasnya dukungan politik yang diperoleh masing-masing kandidat.
"Selanjutnya, tidak memperluas basis segmen pemilih. Hadirnya massa dalam jumlah besar tidak menjadi jaminan bahwa kemenangan menjadi milik kandidat tertentu," ucapnya.
Sebagian besar relawan yang hadir sih sudah dipastikan akan mendukung kandidat yang bersangkutan. Nah sisanya, kata Pangi, mereka hanya ikut-ikutan dan yang pasti model kampanye semacam ini tidak akan menambah asupan elektoral yang signifikan terhadap kandidat.
Lebih lanjut, akibat euforia gagah dari kampanye terbuka ini, mau tidak mau akan membentuk ilusi kandidat ini merasa akan menang. "Efek psikologis hadirnya massa yang besar di sisi lain juga punya sisi negatif baik terhadap kandidat maupun pendukungnya, mereka merasa dapat dukungan yag besar dan luas dari masyarakat sehingga perasaan akan memenangkan kompetisi semakin memuncak," jelas dia.
Padahal, lanjut Pangi, jika membandingkan persentase dengan jumlah seluruh pemilih, massa yang hadir sangat lah sedikit dan belum seberapa dibandingkan yang hadir kampanye terbuka.
Belum lagi, massa yang hadir dalam kampanye terbuka, orangnya “itu itu aja”, kampanye terbuka paslon 01 mereka hadir, begitu kampanye 02 mereka juga hadir, dari massa yang sama, yang penting mereka happy bisa menikmati hiburan dan syukur syukur dapat uang transportasi.